Salam
untuk semuanya, di dalam Proses Belajar
Mengajar menjadi guru bukanlah yang mudah, karena seorang guru dituntut untuk
menguasai model-model dalam pembelajaran agar tercipta suasana belajar yang
menyenangkan, dan hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan ketuntasan hasil
belajar yang diharapkan. Jika seorang
guru masih terfokus menggunakan metode hanya ceramah saja dalam proses belajar
mengajar, sudah pasti berakibat fatal kepada siswa, karena siswa menjadi fasif
dalam proses belajar mengajar guru yang aktif, sementara yang dituntut dalam
PBM siswa harus aktif, sehingga terjadi
pembelajaran yang menyenangkan dan menumbuhkan semangat siswa untuk belajar.
Disini saya
berbagi model-model belajar yang inovatif, yang bisa membangkitkan semangat
peserta didik dalam PBM.
A. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Langkah-langkah pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Jigsaw adalah sebagai berikut :
(1) Kelompok cooperative ( awal )
- Siswa dibagi kedalam kelompok kecil yang
beranggotakan 3 – 5 orang.
- Bagikan wacana atau tugas yang sesuai dengan
materi yang diajarkan
- Masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan
wacana / tugas yang berbeda-beda dan memahami informasi yang ada
didalamnya.
(2) Kelompok Ahli
- Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki
wacana / tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok ahli
sesuai dengan wacana / tugas yang telah dipersiapakan oleh guru.
- Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar siswa
belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang
menjadi tanggung awabnya.
- Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk
memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana /
tugas yang telah dipahami kepada kelompok cooperative.
- Apabila tugas sudah selesai dikerjakan dalam
kelompok ahli masing-masing siswa kembali kelompok cooperative (awal)
- Beri kesempatan secara bergiliran masing-masing
siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok ahli.
- Apabila kelompok sudah menyelesaikan tugasnya,
secara keseluruhan masing-masing kelompok melaporkan hasilnya dan guru
memberi klarifikasi.
B. Model Pembelajaran Kooperatif Numberd
Heads Together
Dikembangkan
oleh Spencer Kagan (1992) Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja
sama mereka. Teknik ini juga digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkatan usia anak didik.
Langkah-langkah pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Numberd Heads Together sebagai berikut :
- Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap
siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor urut.
- Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok
mengerjakannya.
- Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling
benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini.
- Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan
nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
- Tanggapan dari kelompok yang lain
- Teknik Kepala Bernomor ini juga dapat dilanjutkan
untuk mengubah komposisi kelompok yang biasanya dan bergabung dengan
siswa-siswa lain yang bernomor sama dari kelompok lain.
C. Model Pembelajaran Kooperatif Group To
Group Exchange
Model pembelajaran Pertukaran Kelompok Mengajar
ini, tugas yang berbeda diberikan kepada kelompok peserta didik yang
berbeda. Masing-masing kelompok “mengajar” apa yang telah dipelajari untuk sisa
kelas.
Langkah-langkah pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Group To Group Exchange sebagai berikut :
- Pilihlah sebuah topik yang mencakup perbedaan
ide, kejadian, posisi, konsep, pendekatan untuk ditugaskan. Topik haruslah
sesuatu yang mengembangkan sebuah pertukaran pandangan atau informasi
(kebalikan teknik debat)
- Bagilah kelas ke dalam beberapa kelompok, jumlah
kelompok sesuai jumlah tugas. Diusahakan tugas masing-masing kelompok
berbeda.
- Berikan cukup waktu untuk berdiskusi dan
mempersiapkan bagaimana mereka dapat menyajikan topik yang telah mereka
kerjakan.
- Bila diskusi telah selesai, mintalah kelompok
memilih seorang juru bicara. Undanglah setiap juru bicara menyampaikan
kepada kelompok lain.
- Setelah presentasi singkat, doronglah peserta
didik bertanya pada presenter atau tawarkan pandangan mereka sendiri.
Biarkan anggota juru bicara kelompok menanggapi.
- Lanjutkan sisa presentasi agar setiap kelompok
memberikan informasi dan merespon pertanyaan juga komentar peserta.
Bandingkan dan bedakan pandangan serta informasi yang saling ditukar.
Contoh: Seorang pengajar membandingkan dua negara yang telah disepakati
dengan menggunakan motede ini. Kelompok pertama membahas Costa Rica
(dikenal negara yang aman) dan kelompok lain membahas El Savador (baru
saja mengalami perang saudara). Setelah setiap kelompok mempresentasikan
kebudayaan dan sejarah negara yang telah ditetapkan, diskusi diarahakan
pada analisis “ mengapa dua negara tetangga tersebut memiliki perbedaan
pengalaman”
Adapun Variasi Model pembelajaran Pertukaran Kelompok
Mengajar dapat dilakukan dengan cara
- Mintalah setiap kelompok melakukan penelitian
ekstensif sebelum presentasi.
- Gunakan bentuk diskusi panel atau fishbowl untuk
masing-masing presentasi sub-kelompok.
D. Model Pembelajaran Kooperatif Decision
Making
Pemecahan masalah (problem solving) adalah suatu
bentuk cara belajar aktif yang mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir dan
bertindak secara logis, kreatip dan krisis untuk memecahkan masalah. Dalam Proses
Belajar Mengajar masalah yang dikemukakan anak antara lain dapat dipecahkan
melalui diskusi, opservasi, klasifikasi, pengukuran, penarikan kesimpulan serta
pembuktian hipotesis. Pemecahan maslah sangat penting diterapkan dan dipadukan
dalam Proses Belajar Mengajar agar anak: dapat mengembangkan cara berpikir
memecahkan masalah yang dijumpai sehari-hari baik dilingkungan terdekatnya
maupun dilingkungan masyarakat yang lebih luas. Anak juga Dibekali kemampuan
menghadapi tantangan baru yang akan muncul dalam kehidupannya dimasa depan
sesuai dengan tanda-tanda jaman dan anak ibekali kemampuan dasar bagaimana
menanggapi masalah merumuskan masalah dan memilih alternatif pemecahan secara
tepat.
Menurut John Dewey pengambilan keputusan (decision
making) tidak jarang disamakan dengan berpikir kritis, pemecahan masalah dengan
berpikir logis serta berpikir replektif. Berpikir kritis (critical thinking)
untuk sampai suatu kesimpulan diawali dengan pertanyaan dan pertimbangan
kebenaran serta nilai apa yang sebenarnya ada dalam pertanyaan itu.
Pemecahan masalah (problem solving), untuk sampai pada
kesimpulan diawali dengan masalah yang dihadapi dan mempertanyakan bagaimana
masalah itu dapat diselesaikan/dipecahan.
Berpikir logis (logical thingking) untuk sampai pada
suatu kesimpulan yang diutamakan adalah alur berpikirnya, mulai dari
identifikasi, meramalkan, menganalisis fakta dan opini serta verifikasi.
Ketiga ketrampilan berpikir tersebut semuanya bermuara
pada pengambilan keputusan untuk mendapatkan suatu alternatif/pilihan yang
kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk tindakan. Dengan demikian dalam
pengambilan keputusan bukan semata-mata bertujuan untuk memperoleh informasi
atau pengetahuan, tetapi juga dilandasi oleh pertimbangan secara nalar dan
penilaian, tindakan yang diambil akan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan
ketrampilan mengumpulkan informasi tentang suatu permasalahan, berpikir kritis
dan kreatif.
Langkah-langkah Model Pembelajaran
Kooperatif Decision Making adalah sebagai berikut::
- Informasi tujuan dan Perumusan masalah.
- Secara klasikal tayangkan gambar, wacana atau
kasus permasalahan yang sesuai dengan materi pelajaran atau kompetensi
yang diharapkan
- Buatlah pertanyaan agar siswa dapat merumuskan
permasalahan sesuai dengan gambar, wacana atau kasus yang disajikan.
- Secara kelompok siswa diminta mengidentifikasikan
permasalahan dan membuat alternatif pemecahannya.
- Secara kelompok/individu siswa diminta
mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dilingkungan sekitar siswa
yang sesuai dengan materi yang dibahas dan cara pemecahannya.
- Secara kelompok/individu siswa diminta
mengemukakan alasan mereka menilih alternatif tersebut.
- Secara kelompok/individu siswa diminta mencari
penyebab terjadinya masalah tersebut.
- Secara kelompok/individu siswa diminta
mengemukakan tindakan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.
E. Model Analisis Kasus
Ada dua pertimbangan yang dijadikan landasan bahwa
model pembelajaran analisis kasus sangat penting dalam pengajaran PKn sebagai
pendidikan nilai, moral, norma yaitu pertama, dunia dan potensi serta proses
afektual peserta didik hanya dapat bergetar dan terlibatkan apabila ada media
stimulus (perangsang) yang menggetarkan. Kedua, proses afektual sukar terjadi
melalui bahan ajar yang konsepsional, teoritik dan normatif. Bahan ajar ini
masih harus diolah dan dimanipulasi oleh guru menjadi media stimulus afektif
berkadar tinggi.
Contoh cerita kasus (fiktif) “tabrak lari”. Ceritera
tersebut dapat Saudara buat sendiri atau mengutif dari media massa. Contoh
ceritera (fiktif) untuk stimulus:
KASUS “TABRAK LARI”
Suatu pagi Mas’an seorang tukang sayur yang biasa
berkeliling di desa Malabar menyeberang jalan raya tanpa memperhatikan kendaran
yang melintas jalan tersebut, tiba-tiba muncul sebuah minibus dengan kecepatan
tinggi dan menabrak tukang sayur tersebut. Kaki Mas’an tergilas kendaran itu
dan mengalami patah kaki. Supir minibus yang bernama Teddy sedang dalam keadaan
mabuk melarikan diri tanpa meperhatikan Mas’an. Masyarakat yang kebetulan
mengetahui kejadian tersebut mengejar Teddy dan tertangkap sekitar 3 kilometer
dari tempat kejadian. Kemudian beberapa pemuda ramai-ramai memukuli Teddy
hingga pingsan dan baru mereka berhenti setelah datang anggota polisi lalu
lintas melindungi Teddy dan kelompok pemuda itu sendiri kabur.
Sedangkan Irwan dan Yandi siswa salah satu SMP di
daerah itu memberi pertolongan kepada Mas’an dan membawanya ke Puskesmas
terdekat. Istri Mas’an yang sedang hamil tua yang datang ke Puskesmas beberapa
jam setelah kejadian menangis melihat suaminya terbaring tak berdaya.
Padahal biaya hidup dan sekolah anaknya hanya mengandalkan dari hasil
jual sayuran yang tidak seberapa. Mas’an sendiri pasrah dan akan
memaafkan kelalaian Teddy.
Langkah pembuatan dan penggunaan model pembelajaran
analisis kasus adalah sebagai berikut.
- Menganalisis standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar yang akan dijarakan, kemudian tentukan pencapaian target
nilai-moral yang diharapkan melalui perumusan indikator pembelajaran
- Membuat ceritera dari suatu peristiwa yang pernah
atau sering terjadi. Cerita tersebut mengandung nilai-moral dilematis dan
sesuai dengan target nilai-moral harapan
- Usahakan ceritera yang telah disiapkan itu
diperbanyak sejumlah siswa, sehingga semua siswa mempunyai kesempatan yang
sama untuk mempelajari ceritera tersebut.
- Pada saat pelaksanaan beri kesempatan kepada
siswa untuk membaca ceritera itu sekitar 3- 5 menit, kemudian beberapa
siswa diminta komentarnya terhadap materi ceritera itu. Atau bisa saja
diberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh semua siswa,
misalnya:
- Bagaimana perasaan kalian terhadap kejadian tersebut?
- Apa yang akan kalian lakukan jika menjadi saudara atau
isitri tukang sayur? Apa yang akan dilakukan jika menjadi Teddy?
- Perbuatan-perbuatan apa yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila?
- Perbuatan-perbuatan apa yang dianggap sesuai dengan nilai-nilia
Pancasila? dan sebagainya.
- Ajak siswa mendiskusikan cerita tersebut
dan arahkan pada nilai moral yang diharapan
- Menyimpulkan materi pembelajaran
F. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking
Chips
Talking adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa
inggris yang berarti berbicara, sedangkan chips yang berarti kartu. Jadi arti
talking chips adalah kartu untuk berbicara. Sedangkan talking chips dalam
pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil
yang terdiri atas 4-5 orang, masing-masing anggota kelompok membawa sejumlah
kartu yang berfungsi untuk menandai apabila mereka telah berpendapat dengan
memasukkan kartu tersebut ke atas meja. Model pembelajaran talking chips atau
kancing gemerincing merupakan salah satu model pembelajaran yang menggunakan
metode pembelajaran kooperatif.
Berdasarkan pada prosedur pelaksanaan pembelajarannya,
Lie (2002: 14) membedakan pembelajaran kooperatif dalam beberapa tipe, yaitu
make a match (mencari pasangan), Think–Fair–Share (berpikir -
berpasangan - berbagi), bertukar pasangan, berkirim salam dan
soal, numbered heads together (kepala bernomor), two stay two
stray (dua tamu dua tinggal), talking chips (kartu
berbicara), roundtable (meja bundar), inside–outside–circle (lingkaran
besar lingkaran kecil), paired storytelling (berbicara
berpasangan), three steps interview (tiga tahap wawancara),
dan jigsaw.
Pembelajar kooperatif tipe talking chips pertama
kali dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Dalam
kegiatan talking chips, masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan
untuk memberikan kontruksi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran
anggota yang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah untuk mengatasi
hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Sebagaimana
dinyatakan Masitoh dan Laksmi Dewi dalam bukunya Strategi Pembelajar (2009:244)
model pembelajaran talking chips merupakan model pemelajaran kancing
gemerincing yang dikembangkan oleh Spender Kagan (1992).
Dalam pelaksanaan talking chips setiap
anggota kelompok diberi sejumlah kartu atau “chips” (biasanya dua sampai tiga
kartu). Setiap kali salah seorang anggota kelompok menyampaikan pendapat dalam
diskusi, ia harus meletakan satu kartunya ditengah kelompok. Setiap anggota diperkenankan
menambah pendapatnya sampai semua kartu yang dimilikinya habis. Jika kartu yang
dimilikinya habis, ia tidak boleh berbicara lagi sampai semua anggota
kelomoknya juga menghabiskan semua kartu mereka. Jika semua kartu telah habis,
sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil kesempatan untuk
membagi-bagi kartu lagi dan diskusi dapat diteruskan kembali (Kagan, 2000 :
47).
Dengan demikian dalam penerapan model pembelajaran
kooperatif Tipe Talking Chips: (1) siswa dibagi dalam kelompok-kelompok
kecil sekitar 4-6 orang perkelompok. (2) kelompoknya para siswa diminta untuk
mendiskusikan suatu masalah atau materi pelajaran. ( 3 ) Setiap kelompok diberi
4-5 kartu yang digunakan untuk siswa berbicara. Setelah siswa mengemukakan
pendapatnya, maka kartu disimpan di atas meja kelompoknya. Proses dilanjutkan
sampai seluruh siswa dapat menggunakan kartunya untuk berbicara. Cara ini
membuat tidak ada siswa yang mendominasi dan tidak ada siswa yang tidak aktif,
semua siswa harus mengungkapkan pendapatnya. Disamping itu, penerapan model
pembelajaran kooperatif teknik talking chips merupakan suatu model pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student oriented), dimana model pembelajaran ini
sesuai menempati posisi sentral sebagai subyek belajar melalui aktivitas
mencari dan menemukan materi pelajaran sendiri.
Secara sederhana, penggunaan kartu dapat diganti oleh
benda-benda kecil lainnya yang dapat menarik perhatian siswa, misalnya kancing,
kacang merah, biji kenari, potongan sedotan, batang-batang lidi, sendok es
krim, dan lain-lain. Karena benda-benda tersebut berbunyi gemerincing, maka
istilah untuk talking chips dapat disebut juga dengan “kancing gemerincing”
(Lie, 2002 : 63).
Model pembelajaran talking chips dapat digunakan dalam
semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak didik. Kegiatan kancing
gemerincing membutuhkan pengelompokan siswa menjadi beberapa kelompok. Teknik
ini dapat memberikan kontribusi siswa secara merata. Teknik ini dapat digunakan
untuk berdiskusi, mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain
ataupun untuk saling mengevaluasi hapalan. Teknik kancing gemerincing dirancang
untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja
kelompok. Dalam banyak kelompok, sering ada anggota yang terlalu dominan dan
banyak bicara. Sebaliknya juga ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada
rekannya yang lebih dominan.
Dengan menerapkan teknik talking chip ini dalam proses
pembelajaran, diharapkan semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk aktif
dalam mengemukakan pendapat sehingga terjadi pemerataan kesempatan dalam
pembagian tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lie bahwa
“dalam kegiatan kancing gemerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan
kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi mereka serta mendengarkan
pandangan dan pemikiran anggota yang lain.
Menurut Sonia dalam “Talking Chips (A Book of
Multiple Intelligence Exercise From Spain, Talking chips mempunyai dua proses
yang penting, yaitu; proses sosial dan proses dalam penguasaan materi. Proses
sosial berperan penting dalam talking chips yang menuntut siswa untuk dapat bekerjasama
dalam kelompoknya, sehingga para siswa dapat membangun pengetahuan mereka di
dalam suatu bingkai sosial yaitu pada kelompoknya. Para siswa belajar untuk
berdiskusi, meringkas, memperjelas suatu gagasan, dan konsep materi yang mereka
pelajari, serta dapat memecahkan masalah-masalah.
Talking Chips mempunyai tujuan tidak hanya sekedar
penguasaan bahan pelajaran, tetapi adanya unsur kerjasama untuk penguasaan
materi tersebut. Hal ini menjadi ciri khas dalam pembelajaran kooperatif.
Disamping itu, talking chips merupakan metode pembelajaran secara kelompok,
maka kelompok merupakan tempat untuk mencapai tujuan sehingga kelompok harus
mampu membuat siswa untuk belajar. Dengan demikian semua anggota kelompok harus
saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Selain dengan kelompoknya, siswa juga dapat
berinteraksi dengan anggota kelompok lain sehingga tercipta kondisi saling
ketergantungan positif di dalam kelas mereka pada waktu yang sama. Proses
penguasaan materi berjalan karena para siswa dituntut untuk dapat menguasai
materi
Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tife Talking Chips
Menurut Masitoh dan Laksmi Dewi. (2009:244), terdapat
lima langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tife Talking Chips, yaitu: 1) Guru menyiapkan kotak
kecil yang berisikan kancing-kancing. 2) Setiap siswa dalam masing-masing
kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing 3) Setiap kali seorang siswa
berbicara atau mengeluarkan pendapat ide harus menyerahkan salah satu
kancingnya; 4) Jika kancing yang dimiliki seorang siswa habis, dia tidak
boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka. 5)
Jika semua kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil
kesepakatan untuk membagi-bagi kancing lagi dan mengulangi prosedurnya kembali
Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif
Tife Talking Chips
Dalam pembelajaran kooperatif model talking chips
masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan
kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain
dalam kelompoknya. Keunggulan lain dari model ini adalah untuk mengatasi
hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak
kelompok kooperatif yang lain sering ada anggota yang selalu dominan dan banyak
bicara. Sebaliknya, ada juga anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya
yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam
kelompok bisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan selalu
menggantungkan diri pada rekannya yang dominan. Model pembelajaran talking
chips memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan
serta.
Sedangkan kelemahan dalam model pembelajaran talking
chips diantaranya: 1) tidak semua konsep dapat mengungkapkan model talking
hips, disinilah tingkat profesionalitas seorang guru dapat dinilai. 2)
pengelolaan waktu saat persiapan dan pelaksanaan perlu diperhatikan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama dalam proses pembentukan
pengetahuan siswa. 3) pembelajaran model talking chips memerlukan persiapan
yang cukup sulitm, 4) guru dituntut untuk dapat mengawasi setiap siswa yang ada
di kelas, oleh karena itu cukup sulit dilakukan terutama jika jumlah siswa
dalam kelas terlalu banyak.
G. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery
Learning)
Metode Discovery Learningadalah teori belajar yang
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak
disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan
mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning
can be defined as the learning that takes place when the student is not
presented with subject matter in the final form, but rather is required to
organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner
ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery
Learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk
akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep,
arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan
prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process
sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig
conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai strategi belajar,Discovery Learning mempunyai
prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada
perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih
menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah
yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan
di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan
menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam
Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan
tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik
didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan
mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa
yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning
secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang
bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi
belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang
teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya
menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa
menemukan informasisendiri.
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi
memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila
mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh
baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun
tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner
menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan
mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh
(obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar
kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan
partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan
kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa
ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery
Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,
penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan
yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan
kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi
melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu:
enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan
aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya
melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang
memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang
telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak
simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan
sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive,
iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia
bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya
dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia
menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan
bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih,
85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru
berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan
mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145).
Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher
oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang
menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam
metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti
bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang
guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa
pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
(Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery
Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada
muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian,
atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya,
menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery
sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan)
mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar
lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu
bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang
diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi
responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
Adapun Kelebihan Penerapan Discovery Learning
- Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan
merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
- Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini
sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan
transfer.
- Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena
tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
- Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan
cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
- Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya
sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
- Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep
dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
- Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama
aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai
siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
- Membantu siswa menghilangkan skeptisme
(keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau
pasti.
- Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide
lebih baik.
- Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer
kepada situasi proses belajar yang baru.
- Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas
inisiatif sendiri.
- Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan
hipotesis sendiri.
- Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
- Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
- Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa
menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
- Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
- Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan
berbagai jenis sumber belajar.
- Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Adapun KelemahanPenerapan Discovery Learning
- Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan
pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami
kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara
konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan frustasi.
- Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah
siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu
mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
- Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini
dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan
cara-cara belajar yang lama.
- Pengajaran discovery lebih cocok untuk
mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep,
keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
- Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang
fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
- Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan
untukberpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih
dahulu oleh guru.
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan
model discovery learning di kelas.
- Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
- Menentukan tujuan pembelajaran.
- Melakukan identifikasi karakteristik siswapeserta
didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
- Memilih materi pelajaran
- Menentukan topik-topik yang harus dipelajari
siswapeserta didik secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)
- Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa
contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari
siswapeserta didik
- Mengatur topik-topik pelajaran dari yang
sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap
enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
- Melakukan penilaian proses dan hasil belajar
siswap eserta didik.
- Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode
Discovery Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam
kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
1.Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada
sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri.
Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan
kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi
stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat
tercapai.
2. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi
Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah
guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang
dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisispermasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisispermasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244).
Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis.
Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan
demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan
yang telah dimiliki.
4. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan
kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik
melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai
hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/
kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara
cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi
dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau
informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu
itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses
menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk
semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan
siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya
penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas
yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan
generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
I. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan
proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang
menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir
dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki
kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan
yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah
pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang
peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis
masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata
(real world).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode
pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”,
bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata.
Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa
ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta
didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan
dengan masalah yang harus dipecahkan.
Model pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan
adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan
pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah
keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran.
Berikut ini lima strategi dalam menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (PBL).
- Permasalahan sebagai kajian.
- Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.
- Permasalahan sebagai contoh.
- Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari proses.
- Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik.
Peran guru, peserta didik dan masalah dalam
pembelajaran berbasis masalah dapat digambarkan berikut ini.
Guru
sebagai Pelatih
|
Peserta
Didik sebagai Problem Solver
|
Masalah
sebagai Awal Tantangan dan Motivasi
|
Asking
about thinking (bertanya tentang pemikiran).
Memonitor
pembelajaran.
Probbing (
menantang peserta didik untuk berpikir ).
Menjaga
agar peserta didik terlibat.
Mengatur
dinamika kelompok.
Menjaga
berlangsungnya proses.
|
Peserta
yang aktif.
Terlibat
langsung dalam pembelajaran.
Membangunpembelajaran.
|
Menarikuntuk
dipecahkan.
Menyediakan
kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari.
|
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis
masalah ini adalah:
- Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan
masalah
- Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
- Pemodelan peranan orang dewasa.
- Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting
menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas
mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Berikut ini
aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan.
- PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan
tugas.
- PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini
mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik
secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
- PBL melibatkan peserta didik dalam penyelidikan
pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan
menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena
itu.
- Belajar Pengarahan Sendiri (self directed
learning)
- Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada
peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan sendiri apa yang harus
dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan
guru.
Pendekatan PBL mengacu pada hal-hal sebagai berikut
ini.
- Kurikulum : PBL tidak seperti pada kurikulum
tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek
sebagai pusat.
- Responsibility : PBL menekankan responsibility
dan answerability para peserta didik ke diri dan panutannya.
- Realisme : kegiatan peserta didik difokuskan pada
pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini
mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
- Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung
pada pertanyaan dan keinginan peserta didik untuk menemukan jawaban yang
relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang
mandiri.
- Umpan Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi
terhadap para peserta didik menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini
mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
- Keterampilan Umum : PBL dikembangkan tidak hanya
pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai
pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah,
kerja kelompok, dan self-management.
- Driving Questions :PBL difokuskan pada pertanyaan
atau permasalahan yang memicu peserta didik untuk berbuat menyelesaikan
permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
- Constructive Investigations :sebagai titik pusat,
proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para peserta didik.
- Autonomy :proyek menjadikan aktifitas peserta
didik sangat penting.
Kelebihan Menggunakan PBL
- Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna.
Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka
mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan
dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana
konsep diterapkan.
- Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan
pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam
konteks yang relevan.
- PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi internal
untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.
- Metoda ini memiliki kecocokan terhadap konsep
inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut :
- peserta didik memperoleh pengetahuan dasar (basic
sciences)yang berguna untuk memecahkan masalah bidang keteknikan yang
dijumpainya;
- peserta didik belajar secara aktif dan mandiri
dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya,
yang sering disebut student-centered;
- peserta didik mampu berpikir kritis, dan
mengembangkan inisiatif.
Pembelajaran suatu materi pelajaran dengan menggunakan
PBL sebagai basis model dilaksanakan dengan cara mengikuti lima langkah PBL
dengan bobot atau kedalaman setiap langkahnya disesuaikan dengan mata pelajaran
yang bersangkutan.
Jika dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan
konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam
pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk
dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan
tujuan pembelajaran. Lebih jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta
didik memperoleh kunci utama materi pembelajaran, sehingga tidak ada
kemungkinan terlewatkan oleh peserta didik seperti yang dapat terjadi jika
peserta didik mempelajari secara mandiri. Konsep yang diberikan tidak perlu
detail, diutamakan dalam bentuk garis besar saja, sehingga peserta didik dapat
mengembangkannya secara mandiri secara mendalam.
Berikut ini langkah-langkah Langkah-langkah
Operasional Implementasi Model PBL dalam Proses Pembelajaran
1. Pendefinisian masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario
atau permasalahan dan dalam kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai
kegiatan. Pertama, brainstorming yang dilaksanakan dengan cara semua anggota
kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara
bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat. Setiap
anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menyampaikan ide
dalam diskusi serta mendokumentasikan secara tertulis pendapat masing-masing
dalam kertas kerja.
Selain itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang
kurang dikenal dalam skenario tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan
artinya. Jika ada peserta didik yang mengetahui artinya, segera menjelaskan
kepada teman yang lain. Jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam
kelompok tersebut, ditulis dalam permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada
bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu
dalam permasalahan kelompok.
Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih
pendapat yang lebih fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan
pembagian tugas dalam kelompok untuk mencari referensi penyelesaian dari isu
permasalahan yang didapat. Fasilitator memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil
peserta didik. Jika tujuan yang diinginkan oleh fasilitator belum disinggung
oleh peserta didik, fasilitator mengusulkannya dengan memberikan alasannya.
Pada akhir langkah peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas
tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan
pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk menjembataninya. Untuk memastikan
setiap peserta didik mengikuti langkah ini, maka pendefinisian masalah
dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
2. Pembelajaran mandiri (Self Learning)
Setelah mengetahui tugasnya, masing-masing peserta
didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang
diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang
tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang
relevan. Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta
didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan
permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan
dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut
haruslah relevan dan dapat dipahami.
Di luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas
untuk mengadakan pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan
tersebut peserta didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya
dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus
mengorganisasi informasi yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain
dapat memahami relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.
3. Pertukaran pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman
materi dalam langkah pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan
berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi
capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran
pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok
dan fasilitatornya.
Tiap kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap
peserta didik menyampaikan hasil pembelajaran mandiri dengan cara
mengintegrasikan hasil pembelajaran mandiri untuk mendapatkan kesimpulan
kelompok. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan
mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dokumentasi
akhir. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini maka
dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
4. Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek
pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian
terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran
yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS),
kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari
penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan
perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan
pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi,
kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot
penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang
bersangkutan.
J. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK/PROJECT BASED
LEARNING KONSEP/DEFINISI
Pembelajaran Berbasis Proyek(Project Based
Learning=PjBL)adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan
sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi,
sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan metode belajar
yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas
secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyekdirancang untuk digunakan pada
permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi
dan memahaminya.
Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan
memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta
didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek
(materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung
peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip
dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBLmerupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
peserta didik.
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki
gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran berbasis proyekmemberikan
kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan
menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen
secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyekmerupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
peserta didik.
Pembelajaran berbasis proyek dapat dikatakan sebagai
operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk
menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat
membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk
bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta
didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di
dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah
pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran Berbasis proyekmemiliki karakteristik
sebagai berikut:
- peserta didik membuat keputusan tentang sebuah
kerangka kerja
- adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan
kepada peserta didik
- peserta didik mendesain proses untuk menentukan
solusi atas permasalahan atau tantangan yang
diajukan
- peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab
untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan
- proses evaluasi dijalankan secara kontinyu
- peserta didik secara berkala melakukan refleksi
atas aktivitas yang sudah dijalankan
- produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi
secara kualitatif, dan
- situasi pembelajaran sangat toleran terhadap
kesalahan dan perubahan.
- Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran
berbasis proyeksebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan
perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya
imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.
Beberapa hambatan dalam implementasi metode
Pembelajaran Berbasis Proyekantara lain berikut ini.
- Pembelajaran berbasis proyekmemerlukan banyak
waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek.
- Banyak orang tua peserta didik yang merasa
dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
- Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas
tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini
merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang
atau tidak menguasai teknologi.
- Banyaknya peralatan yang harus disediakan,
sehingga kebutuhan listrik bertambah.
- Untuk itu disarankan menggunakan team teaching
dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang
belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas,
seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan
pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri),
circle (presentasi). Atau buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan
saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus
dilakukan di dalam ruang kelas.
Kelebihan Model pembelajaran berbasis proyek
- Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk
belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan
mereka perlu untuk dihargai.
- Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
- Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan
berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
- Meningkatkan kolaborasi.
- Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan
mempraktikkan keterampilan komunikasi.
- Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam
mengelola sumber.
- Memberikan pengalaman kepada peserta didik
pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan
tugas.
- Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan
peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia
nyata.
- Melibatkan para peserta didik untuk belajar
mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian
diimplementasikan dengan dunia nyata.
- Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan,
sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.
Adapun Kelemahan pembelajaran berbasis proyek
- Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan
masalah.
- Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
- Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas
tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
- Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
- Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam
percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
- Ada kemungkinanpeserta didikyang kurang aktif
dalam kerja kelompok.
- Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing
kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik
secara keseluruhan
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis
proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi
peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam
menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang
terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau
sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana
pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa
nyaman dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran berbasis proyek ini juga menuntut siswa
untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi
penelitian, Pembelajaran berbasis proyek membantu siswa untuk meningkatkan
keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih
sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara
dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa.
Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme
untuk belajar. Ketika anak-anak bersemangat dan antusias tentang apa yang
mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih banyak terlibat dalam subjek
dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias
peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan
melupakannya secepat mereka telah lulus tes.
Langkah-langkah Operasional Pembelajaran Berbasis
Proyek sebagai berikut.
1. Penentuanpertanyaan mendasar (Start With the
Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu
pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu
aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai
dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat
relevan untuk para peserta didik.
2. Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the
Project.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara
pengajar dan peserta didik. Dengan emikian peserta didik diharapkan akan
merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main,
pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial,
dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta
mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian
proyek.
3. Menyusun jadwal (Create a Schedule)
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun
jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara
lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline
penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang
baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak
berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan
(alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek
(Monitor the Students and the Progress of the Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor
terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring
dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap roses. Dengan
kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar
mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam
keseluruhan aktivitas yang penting.
5. Menguji hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam
mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-
masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah
dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran
berikutnya.
6. Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta
didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah
dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan
pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses
pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry)
untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
K. Model Pembelajaran Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup investigation bermula
dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar,
seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey,
menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998).
Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan,
bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob,
et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2)
belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar
dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya
prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan
dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model
group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen
menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan
mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model
group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu:
(1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih
topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan
dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3)
investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi,
mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing
(anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan
penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok
menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan
pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing siswa melakukan
koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa
dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan
penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan
guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi
masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih
berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran
tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan
pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait
dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan
kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan
berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian
kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan
dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan
kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran
kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru,
peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan
konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses
pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat
terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan
aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
L. Model Pembelajaran Penelitian Jurisprudensial
Dasar pemikiran model ini adalah terkait dengan
konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda
mengenai nilai sosial yang secara hokum saling bertentangan satu sama lain.
Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang produktif,
setiap warga negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang
lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain. Setiap
warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh
masalah soaial, yang paling tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep
keadilan, hak azasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi.
Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a)
mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik
yang ada di lingkungan negaranya, (b) memiliki seperangkat keterampilan untuk
dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, (c) menguasai
pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan negaranya.
Yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian
dalam model ini adalah konflik rasial dan etnis, konflik ideologi dan
keagamaan, keamanan pribadi, konflik antar golongan ekonomi, kesehatan,
pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat
kerumitan dari masing-masing bidang kajian tersebut tentu saja harus
disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.
Model penelitian Jurisprudensial ini memiliki enam
langkah pembelajaran (Joyse dan Weil, 1986:268). (1) Orientasi kasus, pada
tahapan ini pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang ada.
(2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa mensintesiskan fakta-fakta
ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan
pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang
terjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang
terdefinisikan. (3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang
posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai
tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4)
Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa
menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang
diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan
dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses
analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan
yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu
nilai. (5) Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan
posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian
menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji
asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan
ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya,
menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari
konsekuensi tersebut.
Sistem sosial yang berkembang, bahwa guru memulai
membuka tahapan dan bergerak dari tahap yang satu ke tahap lainnya tergantung
pada kemampuan para siswa untuk menyesuaikan tugas-tugas belajarnya pada
masing-masing tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses
Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan dapat melakukannya tanpa
bantuan dari orang lain.
Prinsip reaksi yang berlangsung terutama yang terjadi
pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif, menyetujui, atau tidak
menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru, merupakan reaksi terhadap komentar
siswa dengan cara memberi pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan,
atau keumuman, dan kejelasan secara definitif. Untuk dapat memerankan hal
tersebut, guru hendaknya dapat mengantisifasi nilai yang diajukan oleh siswa
dan berkenaan dengan hal tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi siswa
dengan hal-hal yang menantang dan melacak kebutuhan siswa lebih jauh.
Sistem pendukung yang diperlukan dalam model ini
adalah sumber-sumber dokumen yang relevan dengan masalah. Seyogyanya disediakan
sumber-sumber yang dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus yang
aktual. Guru dapat pula mengembangkan system pendukung dengan cara merangkum
informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi yang sangat
langka atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam menerapkan model
ini, dua hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat usia siswa dan lingkungan
belajarnya.
Dampak pembelajaran model penelitian Jurisprudensial
ini adalah: kemampuan mengasumsikan peranan siswa lain dan kemampuan dalam
berdialog. Sedangkan dampak pengiring pembelajaran adalah: kerangka untuk
menganalisis isu-isu sosial, empati/pluralisme, fakta tentang masalah sosial,
dan kemampuan untuk berpartisipasi melakukan tindakan sosial.
M. Model Pembelajaran Penelitian Sosial
Model pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri
pada kemampuan guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas di mana dia
memfasilitasi siswa. Menurut Massialas dan Cox (dalam Joys dan Weil, 1986),
bahwa suasana kelas yang reflektif memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:
(1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada hipotesis
sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti.
Model pembelajaran ini memiliki enam langkah
pembelajaran. (1) Orientasi sebagai langkah untuk membuat siswa menjadi peka
terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat
penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan dibuktikan sebagai pembimbing
atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3) Penjelasan dan pendefinisian
istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis. (4) Eksplorasi dalam rangka
menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal
sebagai dasar proses pengujian. (5) Pembuktian dengan cara mengumpulkan data
yang bersangkut paut dengan esensi hipotesis. (6) Merumuskan generalisasi
berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan
beberapa konsep yang erat kaitannya dengan hipotesis.
Prinsip sosial yang berkembang ditandai dengan adanya
tindakan guru mengambil inisiatif untuk meneliti dan memandu siswa dari tahap
yang satu ke tahap yang lain. Siswa dalam melakukan proses penelitian akan
sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian, dan ia harus memikul
tanggung jawab untuk mengikuti proses dari tahap satu hingga tahap akhir.
Prinsip reaksi guru lebih ditandai oleh peranannya
sebagai konselor yang bertugas membantu para siswa untuk menjernihkan
kedudukannya, memperbaiki proses belajar, merencanakan, mengembangkan, dan
melaksanakan pembelajaran. Guru bertugas membantu siswa dalam penggunaan bahasa
yang komunikatif, logika yang rasional, obyektif, pengertian tentang asumsi,
dan berkomunikasi secara efektif dengan siswa lain. Akibat dari tugas tersebut,
guru lebih memiliki peranan yang bersifat reflektif, di kelas tempatnya
memfasilitasi siswa memahami dirinya dan mampu menemukan alur berpikir sendiri.
Dengan demikian, guru selalu bertindak sebagai penjernih, pengarah, konselor,
dan instruktur.
Sistem pendukung utama yang diperlukan dalam
mengimplementasikan model pembelajaran ini adalah, pengembangan cara pemecahan
masalah kehidupan yang fleksibel, sumber kepustakaan yang takterbatas, dan
akses informasi yang lain sebagai sumber belajar yang baik. Lingkungan belajar
yang kaya akan informasi sangat diperlukan keberadaanya, sehingga memberi
peluang secara optimal kepada siswa untuk melakukan proses penelitian dengan
baik.
Dampak pembelajaran model penelitian sosial ini
adalah: penjagaan terhadap masalahmasalah sosial dan komitmen terhadap
peningkatan kualitas siswa sebagai warganegara.
Sedangkan dampak pengiringnya adalah: penghargaan
terhadap hak azasi manusia, tindakan sosial, dan toleransi dalam berdialog.
Kiat Mengajar Secara Efektif
Menurut Jeannette Vos dalam Buku Revolusi cara Belajar
(The Learning Revolotion) bagian II halaman 296 memberikan lembar uji untuk
guru dan pelatihan dalam memulai model program belajar cepat terpadu dengan
menjelaskan enam kiat mengajar secara efektif sebagai berikut :
Ciptakan “kondisi” yang benar
- Orkestrasikan lingkungan
- Ciptakan suasana positif bagi guru dan siswa
- Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
- Tentukan hasil dan sasaran: AMBAK – Apa
manfaatnya bagiku?
- Visualisasikan tujuan anda
- Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
- Pasanglah poster di sekeliling dinding
Presentasi yang benar
- Dapatkan gambar menyeluruh dulu, termasuk karya
wisata
- Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam
kecerdasan
- Gambarlah, buatlah Pemetaan Pikiran,
visualisasikan
- Gunakan konser musik aktif dan pasif.
Pikirkan
- Berpikirlah kreatif
- Berpikirlah kritis, konseptual, analitis.
Reflektif
- Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
- Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk
menyimpan informasi secara permanen
- Berpikirlah tentang pikiran anda.
Ekspresikan
- Gunakan dan praktikkan
- Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi,
sandiwara- untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan.
- Praktikkan
- Gunakan di luar sekolah
Lakukan
- Ubahlah siswa menjadi guru
- Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah anda
miliki
- Tinjau, evaluasi, dan rayakan
- Sadarilah apa yang anda ketahui
- Evaluasilah diri/teman/instruktur anda
- Lakukan evaluasi berkelanjutan.
Perlu juga diketahui oleh pendidik sebagai
fasilitator, bahwa terdapat enam jalur utama menuju otak dalam belajar menurut
Gordon Dryden melalui :
- Apa yang kita lihat
- Apa yang kita dengar
- Apa yang kita kecap
- Apa yang kita sentuh
- Apa yang kita baui
- Apa yang kita lakukan
Dari sekian model pembelajaran yang
ada diatas, kita bisa memilih salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan
materi ajar kita, agar tercapai PBM yang diharapkan oleh kita bersama.
0 comments :