HAKEKAT
KEDUDUKAN MANUSIA
DALAM ISLAM
DALAM ISLAM
A. Latar
Belakang
![]() |
B. Hakekat
Kedudukan Manusia
1. Pengertian
Hakikat
Berbicara mengenai hakikat manusia,
sebelum penulis menyusun lebih jauh kajian materi hakikat kedudukan manusia,
terlebih dahulu kita akan melihat terlebih dahulu arti hakikat dalam kamus
bahasa indonesia diartikan bahwa hakikat itu adalah inti sari/dasar
intisari atau dasar. Contoh : dia yg menanamkan “hakikat” ajaran Islam di
hatiku;
Dalam bahasa
arab hakikat merupakan
kata benda yaitu dari kata “Al-Haqq”, dalam bahasa indonesia menjadi kata pokok
yaitu kata “hak“ yang berarti milik (ke¬punyaan), kebenaran, atau yang
benar-¬benar ada, sedangkan secara etimologi Hakikat berarti inti sesuatu,
puncak atau sumber dari segala sesuatu.
Dapat
disimpulkan bahwa Hakikat adalah kalimat atau ungkapan yang digunakan untuk
menunjukkan mak¬na yang yang sebenar¬nya atau makna yang paling dasar dari
sesuatu seperti benda, kondisi atau pemikiran.
2.
Hakikat Kedudukan Manusia
Dalam
al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu
kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai
untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai
kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan
jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah
dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan
sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata insan digunakan
al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa
dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat
perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan .
Untuk mengkaji lebih mendalam, hakikat kedudukan
manusia, sebelumnya kita telah mengartikan makna hakikat, baik dari segi bahasa
maupun dari segi defenisi, sekarang kita akan membahas kembali, hakikat
kedudukan manusia menurut padangan
islam, berbicara mengenai Islam, tentu kita tidak lepas dari Al-Qur’an dan
Sunnah, serti Ijtihad pemikiranb para sahabat untuk mencari kebenaran yang
sebenar-benarnya yang mengacu pada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di dalam Islam, Al-qur’an menggambarkan hakikat
Kedudukan Manusia , dapat kita lihat dalam surat (Al-Baqarah : 30) yang
berbunyi :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Artinya : "Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya: "Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ
مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Aritnya : “Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang
terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”.(at-Thariq:
5-7)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dari firman Allah
Swt, dalam Al-Qur’an seperti yang telah penulis terakan diatas, ini menandakan
bahwa dalam pandangan Islam Kedudukan Manusia jika kita lihat dari Al-Qur’an
berarti manusia dimuka bumi ini dijadikan Oleh Allah SWT mempunyai hakikat
kedudukan yang jelas, dengan tujuan dan perannya masing-masing seperti yang
telah dijelaskan oleh Al-Qur’an di atas, berarti menandankan bahwa manusia
mempunyai tugas di muka bumi ini adalah :
a.
Sebagai
Khalifah
Manusia sebagai khalifah, dalam Al-Qur’an
pada surat Al-Baqarah ayat 30, jelas
dikatakan Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil
Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di
muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang
memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di bumi, untuk
kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti ia diberi kepercayaan
untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk-beluk bumi, atau
paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya
Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi
dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi untuk
membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa malaikat
belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia menunujukkan kemampuannya untuk
menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang berarti juga kemampuan untuk
berinisiatif, dengan demikian manusia tidak hanya berpotensi merusak akan
tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat kebaikan
Kisah penciptaan manusia dalam bentuk serah terima "kekhalifahan di
atas bumi", kepada manusia, menurut Fazlur Rahman diwarnai dengan protes
para malaikat dan berkata: "Apakah engkau hendak menempatkan seseorang
yang akan berbuat aniaya di atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedang
kami selalu memuji Kebesaran dan Kesucian-Mu? Allah tidak menyangkal tuduhan
mereka terhadap manusia itu tetapi Dia menjawab:' Aku mengetahui hal-hal yang
tidak kalian ketahui". Kemudian Allah membuat kompetisi di antara para
malaikat dengan Adam: siapakah di antara mereka yang lebih luas pengetahuannya.
Dan kompetisi ini dimenangkan oleh manusia yang mampu menyebutkan nama-nama
sementara malaikat tidak sanggup untuk melakukan hal tersebut. Keterangan ini
menunjukkan bahwa manusia (Adam) dapat memiliki pengetahuan yang kreatif.
Setelah itu, kemudian Allah menyuruh malaikat tersebut untuk bersujud kepada
manusia (Adam).
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan
tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi
manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan
membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak
diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk
berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri bahwa ia
merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya dan akan
mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan tujuannya di
dunia yaitu ibadah.
b.
Manusia Sebagai makhluk sosial
Di dalam Surat (At-Tin : 4), Allah Berfirman dengan Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk
makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. setiap manusia yang
dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan juta pesaing
lainnya yang akan lahir ke muka bumi.
Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba
menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan (ke tuba
faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan tak kenal lelah
mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati perjalanan yang penuh dengan
mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan sperma menuju indung telur ini hanya
beberapa ribu yang dapat menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya
satu sperma yang akan berhasil memasuki telur dan membuahinya. jika manusia
menyadari kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik
kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu merasa bangga akan dirinya
dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan terpilih di
antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.
Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses
penciptaan dengan menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ
خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ
وَالتَّرَائِبِ
Artinya : “Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari
air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang
dada.(at-Thariq: 5-7)
Dalam menafsirkan ayat ini,
Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat
sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan
oleh Allah. Hal ini mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah
satu benda cair yang tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai
peralatan yang mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai
anggota tubuh. Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi
suatu makhluk yang sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal
dan persepsi, serta memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka
bumi. Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya,
serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi
tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian
ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan
tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.
Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila
telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib atas
setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah ia
berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula kejadiannya. Agar
ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa menciptakannya sejak pertama kali,
pasti kuasa pula untuk membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan
mendorong dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku
sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata
Sang Pengawas tak lengah sedikitpun. Kesadaran seperti inilah yang harus
dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar mampu
melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang penciptanya.
c.
Manusia Sebagai makhluk perubah
Didalam
Surat ( Ar-Ra’du : 11) yang atinya "Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan
bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan
maksiat. Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa
dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan
dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari
kaum mereka. Ayat ini
tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa
tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa.
Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh
itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam
masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk
berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai
negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan
berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.
Berikut ini akan penulis paparkan
dan jelaskan dari Khutbah Idul Fitri Amin Rais, yang berjudul: Membangun Rasa
Percaya Diri. Menurut Amin saat ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di
berbagai bidang kehidupan. Untuk keluar dari keterpurukan itu, umat Islam sebagai bagian dari bangsa
masih harus mengasah dan mempertajam ketakwaan kita kepada Allah. Pada gilirannya
bila ketakwaan semakin mantap maka insya Allah semakin besar pula kepercayaan
diri, self confidence.
Sebagai bangsa yang besar sekarang
bangsa Indonesia berada dalam suasana tidak percaya diri, malahan kadang-kadang
seperti mengalami kebingungan. Berikut ini merupakan bukti-bukti ketidak
percayaan diri yang di jelaskannya:
Lihatlah bagaimana kita merasa sudah
tidak mampu lagi memperbaiki ekonomi kita dengan akal, energi, daya dan
kreativitas kita sendiri. Sebagai gantinya, kita serahkan sepenuhnya nasib
ekonomi kita kepada sebuah badan dana moneter internasional. Padahal badan
internasional tersebut ternyata tidak becus memperbaiki ekonomi Indonesia.
Lihatlah bagaimana mula-mula
didirikan sebuah badan utuk menyehatkan perbankan dan berbagai BUMN kita. Namun
dalam perkembangannya badan itu kini menjadi juru lelang aset-aset nasional.
Mengapa? Karena kita tidak yakin dapat memperbaiki berbagai BUMN itu dengan
kemampuan dan akal sehat kita. Sikap yang diambil kemudian adalah jual saja
berbagai BUMN itu, habis perkara. Memang perkaranya habis karena kita kemudian
menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentingan luar negeri.
Lihatlah bagaimana kita bahkan tidak
berani mengangkat kepala kita melihat pencurian tanah dan pasir Indonesia yang
sudah berlangsung hampir dua dasawarsa. Beberapa pulau di sekitar Kepulauan
Riau sudah lenyap karena sudah berpindah dan ditempelkan ke suatu negara
tetangga lewat proses reklamasi. Nampaknya kita tidak berani hanya sekedar
menegur, bahkan menyindir negara tetangga tersebut agar menghentikan penjarahan
tanah, pasir dan air kita. Masya Allah.
Lihatlah juga bagaimana kita
memperlakukan kekayaan alam kita yang dianugerahkan Allah kepada kita bangsa
Indonesia. Betapa banyak kontrak karya dibidang perminyakan, gas alam, emas,
perak, tembaga dan berbagai kekayaan miniral kita, yang amat sangat
menguntungkan pihak luar negeri dan cukup merugikan, bahkan menyengsarakan
bangsa sendiri. Mengapa? Karena kita beralasan tidak punya modal, tidak punya
kemampuan manajerial, tidak punya apa-apa untuk mengelola karunia dan anugerah
kekayaan alam itu dengan tangan kita sendiri.
Oleh sebab itu setiap individu, para
pemimpin dan rakyat seluruhnya, harus berusaha memulihkan kembali rasa percaya
diri yang kini sudah hilang. Perlunya upaya untuk menemukan kembali dan
memperkokoh rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bangsa manapun, tidak mungkin
mengandalkan pemulihan kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan
dan lain-lain semata-mata pada kekuatan luar negeri. Mustahil ada satu bangsa
yang mau bersusah payah dan berkorban untuk bangsa lain.
C. Kesimpulan
Pada hakikatnya manusia diciptakan
oleh Allah SWT, dengan bentuk kesempunaan yang telah diberikan-Nya., dengan diberikan Akal untuk berpikir dan hati untuk
merasakan sesuau.
Di
dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia,
yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an
dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya
dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk
tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan
anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian
adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata
insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang
lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan .
Dalam
Pandangan Islam, manusia pada hakikatnya dijadikan dimuka bumi ini untuk
menjadi :
a. Sebagai Khalifah
b. Sebagai Makluk Sosial
c. Sebagai Makluk Perubah
0 comments :