PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memperhatikan pergeseran nilai-nilai moral dalam dunia
pendidikan di Indonesia, mengakibatkan sulit untuk mencapai tujuan
Pendidikan nasional secara keseluruhan. Tujuan tersebut tercantum dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
yang menjelaskan bahwa :
“Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.1
Tujuan pendidikan belum tercapai dengan maksimal, hal ini disebabkan
beberapa faktor diantaranya kurangnya profesinal tenaga kependidikan. Tenaga
pendidik merupakan seseorang yang sangat penting dan penentu arah,
kebangkitan dan kemajuan pendidikan, tenaga pendidik harus bisa menjadi
contoh yang baik bagi peserta didik, untuk mendorong dan mengarahkan
lembaga pendidikan agar maju. Memang membutuhkan kemampuan briliant
dari tenaga pendidik dan tenaga pembimbing. Mereka menjadi tokoh dan
panutan bagi peserta dididk, oleh karena itu mereka harus memiliki kualitas
pribadi seperti bertanggungjawab, berwibawa dan disiplin.
Disamping itu metode yang cukup besar pengaruhnya dalam mendidik
adalah pemberian contoh dan teladan. Allah SWT telah menjelaskan bahwa
contoh keteladanan dari Nabi Muhammad SAW adalah mengandung nilai
Pedagogis bagi manusia, seperti firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-
Ahzab ayat 21 :
1 Anonim, Undang-Undang (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta : Sinar Grafika,
2006), h.5-6
2
Artinya:
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(ketenangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.2 (QS. al-Ahzab
: 21).
Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan, maka
diperlukan tenaga kependidikan yang profesional yang mampu memberikan
pendidikan dan keteladanan yang baik kepada siswa atau mahasiswanya,
dalam hal ini guru adalah aktor utama disamping orang tua dan elemen lainnya.
Tanpa keterlibatan aktif guru, pendidikan kosong dari materi, esensi dan
substansi. Secanggih apapun sebuah kurikulum, visi misi, dan kekuatan
finansial, sepanjang gurunya pasif dan stagnan, maka kualitas lembaga
pendidikan akan merosot tajam. Sebaliknya, selemah dan sejelek apapun
sebuah kurikulum, visi misi, dan kekuatan finansial, jika gurunya inovatif,
progresif, dan produktif, maka kualitas lembaga pendidikan akan maju pesat.
Lebih-lebih jika sistem yang baik ditunjang dengan kualitas guru yang inovatif,
maka kualitas lembaga pendidikan semakin dahsyat, disamping itu tenaga
kependidikan juga harus memberikan pendidikan Agama atau pendidikan
budipekerti terhadap siswa atau mahasiswa, sehingga pada diri siswa atau
mahasiswa akan tertanam nilai-nilai Agama atau budipekerti yang baik.
Kemu’jizatan al-Qur’an ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini
adalah haq, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Tidak ada
satupun dari mu’jizat Nabi-nabi yang dapat ditandingi manusia.
2 Departemen Agama RI.,Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : DEPAG RI. 1995),
h. 929
3
Mu’jizat al-Qur’an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam
bahasa dan maksud yang terkandung didalamnya. Ia mempunyai keluarbiasaan
yang secara akal tidak mungkin dihasilkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw.
Hal itu menunjukkan bahwa al-Qur’an itu seluruhnya memang berasal dari Allah
SWT.
Sehubungan dengan itu penulis mencoba untuk mengkaji hal-hal yang
berkenaan dengan hal tersebut. Maka penulis memberi topik pembahasan
makalah ini. “Terminologi Al-Qur’an dan Hadits tentang Tarbiyah, Ta’dib,
Ta’lim, Pendidikan Karakter”.
4
BAB II
Terminologi Al-Qur’an dan Hadits tentang Tarbiyah, Ta’dib,
Ta’lim, Pendidikan Karakter
A. Al-Qur’an dan Hadits
1. Pengertian Al-Qur’an
Para ulama dalam bidang Ilmu al-Qur’an telah mendefenisikan al-Qur’an
menurut pemahaman mereka masing-masing, baik secara etimologi maupun
terminologi.
Secara etimologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-
Qur’an. Berikut adalah beberapa pendapat tersebut.
a. Menurut al-Lihyany (w. 215 H) dan segolongan ulama lain
Kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) قرٲ artinya
membaca dengan perubahan bentuk kata/ tasrif ( قرٲ يقرٲ قرءانا ). Dari tasrif
tersebut, kata قرءانا artinya bacaan tang bermakna isim maf’ul ( مقروء ) artinya
yang dibaca. Karena al-Qur’an itu itu dibaca maka dinamailah al-Qur’an.
Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk kitab suci yang diturunkan Allah
Swt. Kepada nabi Muhammad saw. Pendapat ini berdasarkan firman Allah
Swt :
Artinya: 17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. 1 (QS. Al-Qiyamah : 17-18).
1 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : DEPAG RI,
1995), h. 999
5
b. Menurut Al-Asy’ari (w. 324 H) dan beberapa golongan lain
Kata Qur’an berasal dari lafaz قرن yang berarti menggabungkan
sesuatu dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai
nama Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa
surat-suratnya, ayat-ayatnya dan huruf-hurufnya beriring-iringan dan
yang satu digabungkan kepada yang lain.
c. Menurut Al-Farra’ (w. 207 H)
Kata al-Qur’an berasal dari lafad قرائن merupakan bentuk jamak' dari
kata قرينة yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayatayat
al-Qur’an satu sama lain saling membenarkan. Dan kemudian
dijadikan nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw.
d. Menurut Az-Zujaj (w. 331 H)
Kata Qur’an itu kata sifat dari القرء yang sewazan (seimbang) dengan
kata فعلان yang artinya الجمع (kumpulan). Selanjutnya kata tersebut
digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw., karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan
surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan
mengumpulkan intisari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
e. Menurut Asy-Syafi’i (w. 204 H).
Kata al-Qur’an adalah isim a’lam, bukan kata bentukan (isytiqaq)
dari kata apapun dan sejak awal memang digunakan sebagai nama
khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi
Muhammad saw. Sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci
sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh
Allah Swt. yaitu Zabur (Nabi Dawud as), Taurat (Nabi Musa as) dan injil
(Nabi Isa as).
Menurut Abu Syuhban dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal li
Dirasah Al-Qur’an al-Karim, dari kelima pendapat tersebut di atas,
pendapat pertamalah yang paling tepat yakni al-Lihyani yang
6
menyatakan bahwa kata al-Qur’an merupakan kata bentukan (isytiqaq)
dari kata قرٲ dan pendapat inilah yang paling masyhur.
Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama juga
berbeda-beda pendapat mendefenisikan al-Qur’an. Perbedaan itu terjadi
disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan perbedaan dalam
menyebutkan unsur-unsur, sifat-sifat atau aspek-aspek yang terkandung
didalam al-Qur’an itu sendiri yang memang sangat luas dan
komprehensif. Semakin banyak unsur dan sifat dalam mendefinisikan al-
Qur’an, maka semakin panjang redaksinya. Namun demikian, perbedaan
tersebut bukanlah sesuatu ang bersifat prinsipil, justru perbedaan
pendapat tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga jika
pendapat-pendapat itu digabungkan, maka pemahaman terhadap
pengertian al-Qur’an akan lebih luas dan komprehensif.
Beberapa pendapat ulama mengenai definisi al-Qur’an secara
terminologi di antaranya adalah:
a. Syeikh Muhammad Khudari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islam, Syeikh Muhammad khudari
Beik mengemukakan definisi al-Qur’an sebagai berikut:
Al-Qur’an ialah lafaz (firman Allah Swt.) yang berbahasa Arab, yang
diturunkan kepada Muhammad saw., untuk dipahami isinya dan selalu
diingat, yang disampaikan dengan cara mutawatir, yang ditulis dalam
mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas.
b. Subkhi Salih
Subkhi Salih mengemukakan definisi al-Qur’an sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kitab (Allah Swt.) yang mengandung mu’jizat, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang ditulis dengan mushafmushaf,
yang disampaikan secara mutawatir, dan bernilai ibadah
membacanya.
7
c. Syeikh Muhammad Abduh
Sedangkan Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan al-Qur’an sebagai
berikut:
Kitab (al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf,
yang terpelihara di dalam dada oang yang menjaga(nya) dengan
Menghapalnya (yakni) orang-orang Islam.
Dari ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur
dalam pengertian al-Qur’an sebagai berikut:
a) Al-Qur’an adalah firman atau Kalam Allah swt.
b) Al-Qur’an terdiri dari lafal berbahasa Arab.
c) Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
d) Al-Qur’an merupakan kitab Allah Swt. yang mengandung mu’jizat bagi
Nabi Muhammad saw. Yang diturunkan dengan perantara Malaikat jibril.
e) Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan)
f) Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah.
g) Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surah al-
Fatihah dan di akhiri dengan surah an-Nas.
h) Al-Qur’an senantiasa terjaga/terpelihara kemurniannya dengan adanya
sebagian orang Islam yang menjaganya dengan menghafal al-Qur’an. 2
2. Pengertian Hadits
Secara etimologi, hadits mempunyai beberapa arti yang baru ( ,( جديد
yang dekat ( قريب ), dan warta/berita ( خبر ). Sedangkan secara
terminologi adalah segala ucapan Nabi saw., segala perbuatan serta
keadaan atau perilaku beliau.
Sedangkan hadits menurut Muhadditsin adalah segala apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik itu hadits marfu’ (yang
disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada
sahabat), ataupun hadits maqthu’(yang disandarkan kepada tabi’in)
2 Mukarom Faisal Rosidin., dkk., Al-Qur’an Hadis, (Jakarta: Kementerian Agama RI.
2014), h. 5-8
8
Menurut Ushuliyyin, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw., selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun takrir Nabi saw. Yang bersangkut paut dengan hukum
syara’.
Menurut Fuqaha, hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi
saw.yang tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah fardu atau wajib 3
B. Beberapa istilah tentang Pendidikan Islam
1. Tarbiyah
Dalam dunia pendidikan Islam terdapat beberapa istilah yang
menjelaskan berkenaan dengan pendidikan islam itu sendiri yang memiliki
tujuan yang sama. Untuk menciptakan manusia yang seutuhnya (Insan
Kamil).
Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut kamus
Bahasa arab, lafal At-Tarbiyah berasal dari tiga kata;
Pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini
dapat dilihat dalam firman Allah Swt :
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). 4 (QS. Ar-Rum : 39).
3 Ibid., h. 81-82
4 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 408
9
Kedua, rabiya-yarba dengan wazan (bentuk) khafiya-yakhfa, yang berarti
menjadi besar. Atas dasar makna inilah Ibnu Al-‘Arabi mengatakan dalam
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 22:
فمن يك سائلا عني فٳنى بمكة منزلى وبها ربيت
Artinya: Jika orang bertanya tentang diriku, maka Mekah adalah tempat
tinggalku dan di situlah aku dibesarkan
Ketiga, rabba-yarubbu dangan wazan (bentuk) madda-yamuddu yang
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan
memelihara.
Kata Tarbiyah merupakan mashdar dari rabba-yurabbiy-tarbiyatan
dengan wazan fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan artinya mendidik. Allah disebut juga
Rabbi karena ia mendidik, mengasuh, memelihara bahkan menciptakan
alam.5 Firman Allah Swt :
Artinya: Segala puji Bagi Allah Tuhan semesta alam 6 (QS. al-Fatihah : 2).
Kata Rabbi yang berarti mendidik digunakan dalam beberapa ayat antara
lain:
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil. 7 (QS. Al-Isra : 24).
5 Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 21-22
6 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 1
7 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 406
10
Ayat diatas menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah ialah
proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia,
atau menurut istilah yang kita gunakan dewasa ini ialah pada fase bayi dan
kanak-kanak. penggunaan kata Tabiyah pada ayat tersebut menunjukkan pada
fase ini menjadi tanggung jawab keluarga. Ibu dan ayah bertanggung jawab
mengasuh dan mengasihi anak yang masih kecil dan berada dalam situasi
ketergantungan. Kedua orangtuanya bersusah payah untuk memenuhi
kebutuhannya berupa: sandang, pangan, ketenangan, serta dalam
mengajarkan dasar-dasar tata krama. Mereka berdua bertanggung jawab
membentuk kepribadian anak, maka wajiblah sang anak bersikab sopan,
hormat dan membalas jasa kepada kedua orangtuanya, bila ia sudah besar
kelak serta mendo’akan agar mereka berdua mendapat rahmat.
عن عبدالله رضى الله عنه قال سٲلت النبى صلى الله عليه وسلم اى العمل
احب الى الله عزوجل قل الصلاة على وقتها قل ثم اى قل ثم برالوالدين
قال ثم اى قال الجهاد فى سبيل الله
Artinya: Dari Abdullah ra. Ia berkata : Saya pernah bertanya kepada Nabi
saw.:”Wahai nabi, apakah amalan yang lebih disukai Allah? Beliau
menjawab: “Sholatlah tepat pada waktunya. Abdullah bertanya
lagi: Kemudian apa lagi? Jawab beliau: berbuat baik kepada kedua
orang tua. Tanya Abdullah: Kemudian apa lagi? Jawab beliau:
Berjihad/berjuang di jalan Allah. 8
Al-Jauhari mengartikan, At-Tarbiyah, rabban, dan rabba dengan
memberi makan, memelihara, dan mengasuh. Apabila istilah at-tarbiyah di
identikkan dengan bentuk madinya Rabbayani dan bentuk mudhoriknya Attarbiyah
mempuyai arti mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membuat, membesarkan, dan menjinakkan
akan tetapi konteks makna At-Tarbiyah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ lebih
luas mencangkup aspek jasmani rohani, sedangkan dalam Al-Qur’an surat
Asy-Syu’ara ayat 18 hanya menyangkut aspek jasmani. Dalam Al-Qur’an
8 Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadits Terpilih Shohih Bukhori, (Surabaya: Terbit
Terang, 2003), h. 167
11
Surat Ali Imran ayat 79 dan 146 disebutkan istilah rabbaniyyin dan ribbiyyin
sedangkan dalam hadis Nabi Muhammad saw digunakan istilah rabbaniyyin
dan rabbani sebagaimana yang tercandum pada hadis riwayat Bukhari dan
ibnu Abbas dalam Djamudi, Dkk., Kapita Selekta Pendidikan Islam, hal.43 yang
artinya, “ Jadilah kamu para pendidik yang penyantun ahli fiqh dan berilmu
pengetahuaan. Seseorang disebut rabbani jika ia telah mendidik manusia
dengan ilmu pengetahuaan dari sekecil-kecilnya sampai yang lebih
tinggi,”(H.R.Bukhari dan Ibnu Abbas),
Dengan demikian bahwa istilah Tarbiyah berkaitan erat dengan proses
persiapan dan pemeliharaan pada masa kanak-kanak didalam keluarga. 9
Pendidikan Islam masa bayi berlangsung dari usia 0 sampai 3 tahun.
Setelah anak lahir, perlu dikumandangkan adzan dekat telinganya, agar
pengalaman pertama lewat pendengaran adalah kalimat tauhid yang
berintikan pengakuan dan keagungan Allah dan kerasulan Muhammad.
Ajaran kepada kemenangan dan seruan untuk beribadah diakhiri dengan
pernyataan dan keagungan serta keesaan Allah. Bayi yang baru lahir memang
belum mengerti arti kata “tauhid” dalam adzan tersebut, namun dasar
keimanan dan keislaman sudah masuk kedalam hatinya.
Menurut pandangan Islam, manusia sejak dilahirkan telah dibekali oleh
Allah dengan fitrah keagamaan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw
pada Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah dalam dalam Bukhari Umar,
Ilmu Pendidikan Islam, hal. 118:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأبََوَاهُ يَهَوِِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِِّسَانِهِ
Artinya: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orang
tuanya menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau
Majusi. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
9 Djamudi, Dkk., Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 20
12
Pada masa bayi ini yang perlu diperhatikan oleh seorang ibu/bapak dalam
merawat anaknya adalah
1. Hendaknya memberikan nama yang baik bagi anak
2. Melaksanakan aqiqah anak
3. Melaksanakan kewajiban untuk menyusui minimal 2 tahun
4. Dalam melaksanakan kewajiban merawat anak, seorang ibu dan bapak
harus menerapkan akhlak yang baik, seperti membaca basmalah pada
setiap kesempatan, baik saat akan menyusui, menyuapi, maupun kegiatan
lainnya.
5. Dalam pendidikan masa bayi dituntut adanya kerja sama yang baik antara
ayah dan ibu, hindari pertengkaran-pertengkaran yang dapat mengganggu
psikologis anak
Pendidikan Islam masa kanak-kanak berlangsung pada usia 3 sampai 12
tahun. Pada usia 3-6 tahun, anak memiliki sifat egosentris (raja kecil). Sebab,
dirinya berada dipusat lingkungan yang ditampilkan anak dengan sikap
senang menantang atau menolak sesuatu yang datang dari orang sekitarnya.
Oleh karena itu, orang tua harus sabar dalam mendidik anaknya.
Masa anak-anak dibagi kepada tiga fase, yaitu sebagai berikut.
1) Permulaan masa anak-anak
Pada awal masa ini sekitar usia tiga sampai dengan lima tahun.
Perkembangan ditandai dengan munculnya sikap egosentris pada diri
setiap anak. Masa ini disebut juga dengan masa remaja kecil. Masa ini juga
merupakan krisis pertama yang sangat memerlukan kesabaran dan
kebijaksanaan bertindak dari orangtua sebagai pendidik. Orangtua
sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anak, namun
didalam diri anak-anak harus ditumbuhkan kebiasaan melakukan sesuatu
yang baik dan dikenalkan disiplin.
Jika dilihat dari aspek keagamaan, pada masa ini anak-anak belum
mempunyai kesadaran beragama, tetapi ia telah memiliki potensi kejiwaan
dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan.
13
2) Pertengahan masa anak-anak
Perode ini berlangsung dari umur enam sampai dengan sembilan
tahun. Peride ini sangat penting artinya bagi peletakan dasar untuk
perkembangan selanjutnya melalui sekolah atau madrasah sebagai
lembaga pendidikan. Awal dari fase ini merupakan permulaan bagi anakanak
untuk mengenal orang dewasa diluar keluarganya.
Masa bersekolah yang didasari oleh perkembangan sikap sosial telah
memungkinkan anak usia ini bergaul dengan orang dewasa dan teman
sebayanya. Oleh karena itu, pelindung yang terbaik baginya adalah orangorang
dewasa yang beriman kepada Allah.
Rasulullah saw, bersabda ketika anak menginjak usia tujuh tahun,
hendaklah kedua orang tua mengajarkan dan memerintahkan anakanaknya
untuk melakukan shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda pada Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dalam dalam
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 120:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ
عَشْرٍ، وَفَرِِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِع Artinya: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat
ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila
pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta
pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud).
3) Akhir masa anak-anak
Masa ini berlangsung pada usia sembilan sampai dengan dua belas
tahun. Masa ini merupakan lanjutan masa sebelumnya yang ditandai
dengan berbagai kematangan aspek psikologis yang diperlukan untuk
dapat ikut serta dalam proses pendidikan formal.
14
2. Ta’dib
Ta’dib artinya membuat agama menjadi beradab. Istilah ta’dib semula
berasal dari kesopanan dalam jamuan makan, akhirnya setiap kegiatan yang
bermaksud menjadikan sopan dinamakan ta’dib.
Ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing
kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam
tatanan wujud dan keberadabannya.
Rasulullah SAW Bersabda, pada Hadits Riwayat Ibnu Mas’ud dalam Bukhari
Umar, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 26:
ٲدبنى ربى فٲ حسن تٲديبى
Artinya: Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan
pendidikanku.(HR. Ibnu Mas’ud).
Dalam struktur telaah konseptualnya, ta’dib sudah mencakup unsurunsur
pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan yang baik
(tarbiyah) 10
Dalam dunia pendidikan ta’dib juga bisa dipahami dengan kata
keteladanan.
Pendidikan keteladanan yaitu pengembangan metode pendidikan Islam
dengan contoh utama dari para pendidik sehingga anak didik meniru prilaku
positif yang bermanfaat bagi kemajuan intelektualitas dan kebaikan moralnya.
Selain itu pendidikan melalui teladan adalah merupakan salah satu teknik
pendidikan yang efektif dan sukses, mengarang buku mengenai pendidikan
mudah begitu juga menyusun suatu metodologi pendidikan, kendatipun
10 Bukhari Umar, Op.cit, h. 26-120
15
demikian hal itu juga membutuhkan ketelitian, keberanian, dan pendekatan
yang menyuruh.11
Heri Noer Aly dan Munzier, dalam Ahmad Zuhdi menjelaskan diantara
azas moral pendidikan Islam adalah merupakan pendidikan tingkah laku
praktis, tidak cukup dengan kata-kata tetapi memperhatikan aspek perbuatan.
Karenanya didalam memberikan pelajaran pendidikan Islam guru tidak hanya
memberikan uraian dan keterangan saja mengenai akhlak dan budi pekerti,
tetapi sebaliknya langsung mempraktekkan apa saja yang dijelaskan tersebut,
seperti halnya dalam hal sopan santun, akhlak terhadap ibu bapak, terhadap
bapak ibu guru terhadap sesama teman dan lain sebagainya.12
Karena tugas seorang guru adalah mengajar sekaligus mendidik, maka
keteladanan dari seorang guru menjadi harga mati yang tidak bisa ditawartawar.
Keteladanan merupakan senjata mematikan yang sulit untuk dilawan.
Keteladanan bagaikan anak panah yang langsung mengenai sasaran.
Keteladanan menjadi senjata ampuh yang tidak bisa dilawan dengan
kebohongan, rekayasa, dan tipu daya.
Keteladanan adalah suatu yang dipraktikkan, diamalkan bukan hanya
dikhutbahkan, diperjuangkan, diwujudkan, dan dibuktikan. Oleh karena itu,
keteladanan menjadi perisai budaya yang sangat tajam yang bisa mengubah
sesuatu secara cepat dan efektif. Keteladanan adalah perilaku yang sesuai
dengan norma, nilai dan aturan yang ada dalam agama, adat istiadat, dan
aturan negara. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga hal tersebut tidak bisa
dipisahkan. Sebagai pemeluk agama, guru berkewajiban menaati aturanaturan
yang ada pada agama. Sebagai bagian dari penduduk daerah, guru
berkewajiban menghormati norma yang ada. Dan, sebagai warga negara, guru
berkewajiban mematuhi aturan negara yang ada.
11 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I, (Bandung: Pustaka Setia, 1996), h. 134
12Ahmad Zuhdi., dkk., Membentuk Karakter Anak melalui Pendidikan Madrasah,
(Bandung: Alfabeta, 2012), h. 51
16
Tanggung jawab menaati ketiga aturan tersebut bagi guru menjadi lebih,
karena ia adalah sosok yang digugu dan ditiru. Ucapannya digugu, dan sikap
perilakunya ditiru.
Untuk menjadi teladan bagi siswa, bukanlah perkara mudah. Banyak
indikator tingkah laku yang harus ditunjukkan dalam sikap dan perkataan,
baik dilingkungan sekolah maupun dilingkungan masyarakat. Meski tidak
mudah, bukan berarti mustahil dilakukan. Untuk itu, setiap guru harus
senantiasa berupaya menjadi teladan bagi setiap siswanya, sehingga
keteladanan yang diberikan akan mampu membawa perubahan yang berarti
bagi anak didik dan juga bagi sekolah tempat ia mengabdi.
Dalam konteks keteladanan ini, kita patut belajar kepad para ulama,
khususnya mereka yang mengasuh sebuah pesantren. Menurut Mustain
Syafi’i dalam Jamal Ma’mur Asmani, salah satu pengurus di Madrasah al-
Qur’an Tebuireng Jombang,”Didalam pesantren, aspek tarbiyah (pendidikan)
lebih ditekankan dari pada aspek ta’lim (pengajaran). Aspek tarbiyah
berlangsung selama 24 jam. Kiai tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi
juga memberikan keteladanan dalam sikap perilaku yang bisa diamati dan
diteladani santri-santrinya. Dari sini, internalisasi moral berjalan secara
efektif. Interaksi kiai dan santri secara dinamis dalam satu lingkungan
mendukung proses pembentukan karakter, kepribadian, dan moralitas ini.” 13
Tanpa keteladanan pendidikan akan berjalan dengan pincang. Lalu,
bagaimana jika seorang guru kehilangan keteladanan, sikap perilakunya tidak
mencerminkan ilmu, status, dan tanggung jawab pribadi dan sosialnya? Jika
demikian, akan lahir banyak hal-hal negatif yang tidak dibayangkan
sebelumnya yang sangat merugikan dunia pendidikan yang terkenal sebagai
lembaga suci dan agung.
13Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta:
Diva Press, 2012), h. 81
17
Hal-hal negatif yang timbul dari hilangnya keteladanan guru sebagai
berikut.
1. Tidak ada hubungan emosional antara guru dengan murid
Hubungan antara guru dan murid idealnya tidak hanya secara fisik, tapi
juga lahir batin. Ada hubungan emosional yang dalam antara guru dan
murid. Kalau guru tidak bisa digugu dan ditiru, maka hubungan guru dan
murid sebatas hubungan lahir, pelajaran yang disampaikan tidak
berpengaruh dan tidak berbekas sama sekali dalam jiwa anak didik.
2. Diacuhkan murid
Karena tidak ada keteladanan dari guru, maka murid akan bersikap apatis,
pasif, dan acuh tak acuh kepada guru yang bersangkutan. Mereka akan
bersikap apatis terhadap gurunya yang sikap dan perilakunya tidak bisa
dicontoh. Dengan demikian pembelajaran tidak bisa dilakukan secara
efektif, karena sikap psikologis guru tersebut sudah tidak diterima muridmuridnya.
3. Tidak ada efek perubahan
Guru yang tidak mempunyai keteladanan, apapun pelajaran yang
disampaikan tidak akan membawa perubahan, khususnya perubahan
karakter, sikap, perilaku, dan aspek terjang murid yang merupakan inti dari
pendidikan. Perubahan adalah inti dari pendidikan. Kalau seorang guru
tidak mampu menimbulkan efek perubahan pada muridnya, maka esensi
pendidikan telah hilang dalam jiwanya.
Guru seperti ini sudah kehilangan nuraninya. Ia tidak bisa membedakan
yang baik dan buruk. Kebutuhan duniawai dan kepuasan lahiriah telah
membutakan mata hatinya dalam melihat esensi sebuah perbuatan yang
dilakukan. Maka, sangat tidak layak, guru semacam ini dipertahankan,
karena murid sudah tidak simpatik kepadanya. Ucapan-ucapannya seperti
angin disiang bolong yang masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, dan
keterangan-keterangannya seperti badai topan yang meresahkan
pendengarnya.
18
4. Dikeluarkan dari sekolah
Kalau guru tersubut sudah berbuat di luar batas kewajaran, menyimpang
norma agama dan hukum negara, maka guru tersebut bisa dikeluarkan dari
sekolah tempatnya mengajar. Setelah peringatan demi peringatan
dilayangkan ternyata tidak mampu mengubah sikap perilakunya, bahkan ia
merasa cuek, tidak tahu diri, dan tidak ada good will (keinginan baik)
untuk berubah, maka tidak ada jalan lain kecuali mengeluarkannya dari
sekolah demi menyelamatkan anak-anak, lembaga pendidikan, dan
masyarakat secara keseluruhan. 14
3. Ta’lim
Abdul Fatah Jalal dalam Bukhari Umar mengemukakan bahwa ta’lim
adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung
jawab, dan pananaman amanah, sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau
pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia
itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima alhikmah
serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak
diketahuinya.
Berdasarkan pengertian ini dipahami bahwa dari segi peserta didik yang
menjadi sasarannya, lingkup term at-ta’lim lebih universal dibandingkan
dengan lingkup term at-tarbiyah karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anakanak,
remaja, bahkan orang dewasa. Sedangkan at-Tarbiyah khusus
diperuntukkan untuk pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
Muhammad Rasyid Ridha dalam Bukhari Umar memberikan definisi
ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa
individu, tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Ta’lim artinya pengajaran, maksudnya pemberian atau penyampaian
pengetahuan dari seseorang kepada orang yang lainnya agar menjadi pandai,
14Ibid., h.. 82-86
19
berwawasan luas dan lain-lain. Didalam Al-Qur’an kata ta’lim dipergunakan
dalam beberapa tempat antara lain, firman Allah Swt :
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!" 15 (QS. Al-Baqarah
: 31).
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. 16 (QS. Al-Baqarah : 32).
Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami
kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah
(Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui. 17 (QS. Al-Baqarah : 151).
15 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 6
16 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 6
17 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 408
20
Syaikh Muhahhad an-Naquib Al-Attas dalam Bukhari Umar memberikan
makna at-ta’lim sebagai proses pengajaran tanpa adanya pengenalan secara
mendasar. Menurutnya jika istilah ta’lim disamakan dengan istilah tarbiyah,
ta’lim mempuyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah
sistem, sehingga maknanya menjadi lebih universal daripada istilah tarbiyah,
karena kata tarbiyah tidak meliputi segi pengetahuan dan hanya mencangkup
pada kondisi eksternal.18
Muhammad athiyah Al-Abrasyi dalam Bukhari Umar mengemukakan
pengertian at-ta’lim yang berbeda dari pendapat-pendapat diatas. Beliau
menyatakan bahwa at-ta’lim lebih khusus dari pada at-tarbiyah karena atta’lim
hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu kepada
aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup keseluruhan
aspek-aspek pendidikan.
At-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah al’aqliyah yang
bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya
mengacu pada doamin kognitif. Hal ini dapat dipahami dari pemakaian kata
‘allama dalam surat al-Baqarah (2):31. Kata ‘allama dikaitkan dengan kata
‘arradha yang mengimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam tersebut
pada akhirnya diakhiri dengan tahap evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu
mengacu pada evaluasi domain kognitif, yaitu penyebutan nama-nama benda
yang diajarkan, belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini memberi isyarat
bahwa at-ta’lim sebagai mashdar dari ‘allama hanya bersifat khusus
dibanding dengan at-tarbiyah.
Pendidikan Islam masa remaja berlangsung dari usia 12 sampai dengan
21 tahun yang terdiri atas tiga fase, antara lain sebagai berikut.
1. Masa Pra-Remaja
Fase ini berlangsung dari umur 12 sampai dengan 15 tahun. Fase ini
ditandai dengan semakin meningkatnya sikap sosial pada anak. Gejala
18 Bukhari Umar, Op.cit, h. 24
21
yang dominan pada masa ini adalah kecenderungan untuk bersaing yang
berlangsung antar teman sebaya dan lingkungan jenis kelamin yang
sama. Pada periode ini ada kesempatan yang sangat baik untuk
membantu anak, disamping menguasai ilmu dan teknologi yang sesuai
dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Juga menumbuhkan sikap
bertanggung jawab dan menghargai nilai-nilai, terutama yang bersumber
dari agama Islam. Dalam konsep yang sederhana, anak-anak perlu
dikenalkan dengan makna atau maksud dari beberapa firman Allah atau
hadits tentang sikap dan kemampuan bertanggung jawab dalam
kehidupan. Diantara Firman Allah tersebut adalah:
Artinya : Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (tanpa pertanggung jawaban)? 19 (QS. Al-Qiyamah : 36).
Pada masa remaja, anak biasanya banyak mengalami keguncangan dan
putus asa karena mungkin gagal mendapatkan penerimaan teman
terhadap dirinya atau bisa juga karena perbedaan dirinya dengan
temannya. Oleh karena itu, remaja sangat memerlukan kasih sayang,
teman sepermainan, dan oang tuanya karena pada usia itu remaja
bergantung kepada para guru, orang tua, dan seseorang yang lebih tua
darinya, baik dari segi usia maupun dari segi kedudukan sosial.
2. Masa Pubertas
Masa ini berlangsung pada usia 15 sampai dengan 18 tahun. Masa ini
merupakan tahap akhir bagi individu dalam mempersiapkan dirinya
untuk menjadi manusia dewasa yang berdiri sendiri. Pada fase ini anak
banyak mengalami krisis, namun krisis itu tidak akan dirasakan berat jika
sejak awal anak-anak dan para remaja telah hidup dalam keluarga yang
menempatkan ajaran Islam sebagai penuntunnya. Jika dalam diri remaja
19 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 578
22
telah tertanan nilai-nilai religi maka sebagai orang yang beriman, ia akan
selalu mampu menyikapi permasalahan hidup, baik yang muncul dari
dalam maupun dari luar dirinya
3. Akhir Masa Remaja
Masa ini berlangsung antara usia 18 sampai dengan 21 tahun dan disebut
juga masa awal kedewasaan. Pada masa ini, pembentukan dan
perkembangan suatu sistem moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan
pengalaman keagamaan yang bersifat individual. Melalui kesadaran
beragama dan pengalaman ketuhanan, akhirnya remaja akan menemukan
Tuhannya yang berarti menemukan kepribadiannya. (Ahyadi, 1988:48)
Pendidikan Islam masa dewasa biasanya seseorang sudah memiliki
sifat kepribadian yang matang. Mereka sudah memiliki tanggung jawab
terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari
norma-norma agama maupun yang berada dalam kehidupan ataupun ajaran
agama.
Kewajiban mengikuti proses pendidikan bagi orang dewasa dapat
dipahami dari perintah Allah dan Rasul-Nya, diantaranya firman Allah Swt.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(QS. Ali
Imran : 102).
Rasulullah saw bersabda pada Hadits Riwayat Al-Bayhaqi dari Anas
dalam Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 128 :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap orang Islam. (HR.
Al-Bayhaqi dari Anas).
23
C. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter kerap juga diartikan dengan watak, sikap, jiwa, semangat,
kebiasaan, tingkah laku dan lain-lain. Oleh Ahmad Fauzi, memberikan
beberapa pandangan dan pengertian dengan menguti salah satu pendapat
ilmuwan lain, seperti Galdon W Allport, karakter atau watak adalah
organisasi system jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang
menentukan penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungannya. Dan ia
sendiri menjelaskan, watak atau karakter adalah sifat-sifat yang berhubungan
dengan nilai-nilai, misalnya jujur, pembohong, rajin, pemalas, pembersih,
penjorok, dan lain-lain, sifat-sifat ini bukan merupakan bawaan dari lahir
tetapi didapat setelah lahir sebagai pengaruh dari lingkungan sejak kecil dan
hal ini terus berkembang sehingga menjadi tabi’at atau watak anak tersebut.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada
pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Dengan mengutip empat
ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus
pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foester. Pertama,
pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai
normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman
pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya
diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang
teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko
setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik
menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi
pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri
tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan
kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa
yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar penghormatan atas
komitmen yang dipilih. 20
20 Ahmad Zuhdi, Op.cit, h. 38-39
24
Karakter dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak seringkali
tidak jauh dari perilaku ayah dan ibunya. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah
“Kacang ora ninggal lanjaran” (Pohon kacang panjang tidak pernah
meninggalkan kayu atau bambu tempatnya melilit dan menjalar). Kecuali itu
lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut membentuk
karakter.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut diatas,
serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat
dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk
baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. 21
2. Pentingnya Memiliki Karakter
Allah Swt berfirman :
Artinya: (Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan
sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. 22 (QS. Az-Zumar : 9).
Ayat ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara anak-anak yang
berkarakter yang menggunakan akal dengan yang tidak memiliki akal. Karena
akal itu merupakan potensi yang dimiliki setiap manusia untuk belajar dan
21 Muchlas Samani., dkk., Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 43
22 Departemen Agama RI., Op.cit, h. 459
25
memahami sesuatu hal yang bisa diterima hati dan jiwa. Untuk itu, karakter
seorang anak dapat wujud baginya bila ada dua faktor pendukung penting
yakni intern dan ekstern.
Secara intern karakter anak dapat terwujud jika anak diberikan;
kematangan, kecerdasan (IQ), motivasi, dan minat. Faktor ekstern karakter
anak dapat terwujud bila; adanya dukungan penuh lingkungan keluarga,
masyarakat, guru, alat pelajaran dan kesempatan belajar.
Oleh karena itu, karakter anak pada hakikatnya dapat dibentuk sedemian
indah dan baik serta banyak cara yang bisa dilakukan, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Al-Ghazali:
1. Hendaknya anak dibiasakan dalam perilaku akhlak yang terpuji dan
perkataan yang baik, serta dijauhkan dari perbuatan yang buruk dan
rendah.
2. Bila nampak jelas perbuatan anak itu merupakan perbuatan yang
berakhlak mulia dan berbuat terpuji, hendaknya ia dipuji dan bila perlu ia
dibagi hadiah (reward) yang menyenangkannya dan disanjung hadapan
orang banyak.
3. Hendaknya jangan mengobral celaan terhadap anak bila ia berbuat suatu
perbuatan yang tidak baik, karena hal itu akan menyebabkan ia
meremehkan bila mendengar celaan dan menganggap remeh perbuatan
buruk yang ia lakukan, jangan sekali-kali menghardiknya.
4. Jika anak telah mencapai usia baligh, hendaknya diajarkan kepadanya
hukum syara’, hukum keagamaan dan rahasia syari’ah.23
Rasulullah saw bersabda pada Hadits Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih
menurut Hakim dalam Ahmad Zuhdi., dkk., Membentuk Karakter Anak melalui
Pendidikan Madrasah, hal. 41 :
وعن ٲبي هريرة رضي الله عنه قل قل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم
ٲكثر ما يد خل الجنة تقوى الله و حسن الخلق )ٲخرجه الترمدي وصححه
الحاكم(
23 Ahmad Zuhdi, dkk., Op.cit, h. 44-45
26
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Amal yang paling
banyak menentukan masuk surga ialah takwa kepada Allah dan
perangai yang baik” (Riwayat Tirmidzi. Hadits Shahih menurut
Hakim).
27
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam
kehidupan, karena awal dari segala pengetahuan dan ilmu hanya bisa di
peroleh melalu pendidikan, baik formal, maupun non Formal.
Dalam Islam perintah untuk berpendidikan sangat banyak, bahkan surat
yang pertama kali diturunkan, adalah surat yang memerintahkan manusia
untuk belajar atau berpendidikan. Dalam Islam orang yang berilmu sangat di
hargai, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11
Artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 1
( Q.S Al-Mujadalah : 11)
Kemu’jizatan al-Qur’an ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini
adalah haq, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Tidak ada
satupun dari mu’jizat Nabi-nabi yang dapat ditandingi manusia.
Mu’jizat al-Qur’an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam
bahasa dan maksud yang terkandung didalamnya. Ia mempunyai keluarbiasaan
1 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : DEPAG RI.,
1995), h. 543
28
yang secara akal tidak mungkin dihasilkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw.
Hal itu menunjukkan bahwa al-Qur’an itu seluruhnya memang berasal dari
Allah SWT.
Tarbiyah ialah proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama
pertumbuhan manusia, atau menurut istilah yang kita gunakan dewasa ini ialah
pada fase bayi dan kanak-kanak. Ibu dan ayah bertanggung jawab mengasuh
dan mengasihi anak yang masih kecil dan berada dalam situasi
ketergantungan. Kedua orangtuanya bersusah payah untuk memenuhi
kebutuhannya berupa: sandang, pangan, ketenangan, serta dalam mengajarkan
dasar-dasar tata krama. Mereka berdua bertanggung jawab membentuk
kepribadian anak-anaknya.
Ta’dib artinya membuat agama menjadi beradab. Istilah ta’dib semula
berasal dari kesopanan dalam jamuan makan, akhirnya setiap kegiatan yang
bermaksud menjadikan sopan dinamakan ta’dib.
Dalam dunia pendidikan ta’dib juga bisa dipahami dengan kata
keteladanan. Pendidikan keteladanan yaitu pengembangan metode pendidikan
Islam dengan contoh utama dari para pendidik sehingga anak didik meniru
perilaku positif yang bermanfaat bagi kemajuan intelektualitas dan kebaikan
moralnya.
Keteladanan adalah perilaku yang sesuai dengan norma, nilai dan aturan
yang ada dalam agama, adat istiadat, dan aturan negara.
Ta’lim artinya pengajaran, maksudnya pemberian atau penyampaian
pengetahuan dari seseorang kepada orang yang lainnya agar menjadi pandai,
berwawasan luas dan lain-lain.
Lingkup term at-ta’lim lebih universal dibandingkan dengan lingkup
term at-tarbiyah karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja,
bahkan orang dewasa. Sedangkan at-Tarbiyah khusus diperuntukkan untuk
pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
29
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada
pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Dengan mengutip empat
ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus
pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foester. Pertama,
pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai
normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman
pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya
diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang
teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko
setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik
menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi
pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri
tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan
kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa
yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
30
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI., (1995), Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : DEPAG RI.
Rosidin, Faisal Mukarom, dkk., (2014), Al-Qur’an Hadis, Jakarta: Kementerian Agama
RI.
Umar, Bukhari, (2011), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah.
Asy, Ahnan Maftuh, (2003). Kumpulan Hadits Terpilih Shohih Bukhori, Surabaya:
Terbit Terang.
Djamudi, Dkk., (1999), Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Uhbiyati, Nur, (1996), Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia.
Zuhdi, Ahmad , dkk., (2012). Membentuk Karakter Anak melalui Pendidikan Madrasah,
Bandung: Alfabeta.
Asmani, Ma’mur Jamal, (2012), Tips Menjadi Guru Inspiratif Kreatif dan Inovatif,
Jogjakarta: Diva Press.
Samani, Muchlas, dkk., (2013), Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
0 comments :