Friday, March 2, 2018

AKLAK ISLAMI

OKE MHD AMIN     March 02, 2018    



AKHLAK ISLAMI

A. Latar Belakang

Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.

Dasar ajaran Islam yang terdiri dari aqidah, syariah, dan akhlak sering sekali dilupakan keterkaitannya. Contohnya: seseorang melaksanakan shalat, berarti dia melakukan syariah. Tetapi shalat itu dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang di sekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena shalat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka shalat itu tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada akhlaknya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah.

Penulis berharap dapat menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran Islam yang terdiri dari: Aqidah, Syari’ah, dan akhlak yang kian terlupakan dan menjelaskan tentang hubungan antara ketiganya, sehingga kemantapan seorang mukmin akan terjaga.



B. Makna Akidah, syari’ah dan akhlak



Kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminologi): aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah sahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih serta ijma’ Salaf as-Shalih.

Tidak ada satu ayatpun dalam Al-Qur’an yang sacara literal menunjukkan pada aqidah. Namun demikian dapat dijumpai istilah tersebut dalam akar kata yang sama (‘aqada), yaitu ‘aqadat, kata ini tercantum pada ayat:

9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ u’Í<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNy‰s)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´‰‹Îgx© ÇÌÌÈ

Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. [1] ( QS. An-Nisa,4: 33)



Kata ‘aqqadtum terdapat pada ayat:

Ÿw ãNä.ä‹Ï{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þ’Îû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2ä‹Ï{#xsム$yJÎ/ ãN›?‰¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# (

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.... [2] (QS. Al-Maidah,5: 89)

Kata ‘uqud terdapat pada ayat:

$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌãƒ ÇÊÈ

Artnya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. [3] (QS. Al-Maidah,5:1)



Kata ‘uqdah terdapat pada ayat:

4 Ÿwur (#qãBÌ“÷ès? noy‰ø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& çnrâ‘x‹÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# î‘qàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ

Artinya: .....dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [4] (QS. Al-Baqarah, 2: 235)



Kata ‘uqadi terdapat pada ayat:

`ÏBur Ìhx© ÏM»sV»¤ÿ¨Z9$# †Îû ωs)ãèø9$# ÇÍÈ

Artinya: Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul [5] (QS. Al-Falaq,113:4)



Syari’at menurut bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah adalah sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Syariat merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran Islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah Islam. Oleh karena itu, isi syariat meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan Al-Quran dan Sunnah.

Aturan-aturan syariat yang sudah dikodifikasikan disebut fiqih. Dengan demikian fiqih dapat disebut sebagai hasil kodifikasi syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Syariat Islam mengatur perbuatan seorang muslim, di dalamnya terdapat hukum-hukum yang terdiri atas:

a. Wajib, yaitu perbuatan yang apabila dilakukan mendapat pahala apabila ditinggalkan berdosa.

b. Sunat, yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan diberi pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa.

c. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan, karena tidak diberi pahala dan tidak berdosa.

d. Makruh. Yaitu perbuatan apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dilakukan tidak berdosa.

e. Haram, yaitu perbuatan apabila dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Syariat adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Syariat mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, alam lingkungan, maupun dengan Tuhan.

Dengan demikian, syariat Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia agar seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara utuh. Utuh disini tidak berarti semua aspek sudah diatur oleh syariat secara detail, sebab hanya masalah ibadah yang telah diatur syariat secara ketat. Selain itu, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau mu’amalah, syariat hanya memberikan landasan hukum yang memberi makna dan arah bagi manusia. Namun, secara operasional urusan muamalah diserahkan kepada manusia. Hanya prinsip-prinsip dasar bagi hubungan tersebut didasari syariat sehingga aspek-aspek kehidupan manusia dapat terwujud secara Islami.

Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khilqun atau khuluqun, yang secara etimologis berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, agama dan kemarahan.

Kata akhlaq dan khuluq keduanya dijumpai pemakaiannya, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis, diantaranya:

y7¯RÎ)ur 4’n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ

Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [6] (QS. Al-Qalam.68: 4)



Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Sementara menurut Imam Al-Gazali, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan, pikiran terlebih dahulu.

Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlak karimah. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Adapun ciri-ciri akhlak antara lain adalah:

1. Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyyah al-mutlaqah), yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islami merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu dan tempat.

2. Kebaikannya bersifat menyeluruh (al-salahiyyah al-ammah), yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan di semua tempat.

3. Tetap, langgeng dan mantap, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap, tidak berubah oleh perubahan waktu dan tempat atau perubahan kehidupan masyarakat.

4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya bukan bermain-main atau karena bersandiwara.

Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. [7]

C. Hubungan akidah, syari’ah dan akhlak

Hubungan antar akidah, syari’ah dan akhlak sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar (Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).

a. Hubungan aqidah dengan syariat

Menurut Syekh Mahmud Syaltut dalam Nasrul HS, dkk ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.

Jika syari'at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari'at disebut bersama 'aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan 'aqidah (keyakinan).

Kalau seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.

Dengan demikian, maka 'aqidah dan syari'at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan 'aqidah, dan amalan ini yang disebut syari'at. Sehingga iman itu mencakup 'aqidah dan syari'at, karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan.

b. Hubungan Aqidah dengan Akhlak

Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak.

Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terletak pada kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya.

Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah. Muhammad al-Gazali dalam Nasrul H.S, dkk mengatakan, iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk.

Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan perangai yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman.

Nyatalah bahwa rasa malu sangat berpautan dengan iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia mempunyai rasa malu; dan jika ia tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.

Aqidah dengan seluruh cabangnya tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berteduh dari panasnya , matahari, atau untuk berlindung dari hujan, dan tidak ada pula buahnya yang dipetik . sebaliknya akhlak tanpa aqidah hanya merupakan bayang-bayang bagi benda yang tidak tetap dan selalu bergerak. Allah menjadikan keimanan (aqidah) sebagai dasar agama-Nya, ibadat (syariah) sebagai rukun (tiangnya). Kedua hal inilah yang akan menimbulkan kesan baik kedalam jiwa dan menjadi pokok tercapainya akhlak yang luhur.

Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Keberadaan akhlak memiliki peranan yang istimewa dalam akidah Islam.

Islam menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia, dan menjadikannya sebagai kewajiban di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak memberikan wejangan akhlak semata, tanpa didasari rasa tanggung jawab. Bahkan keberadaan akhlak, dianggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama itu, tersusun dari akidah dan perilaku.

Akhlak itu harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup disimpan dalam hati, namun harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik.

Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik , merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk, adalah perilaku-perilaku yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun, secara kasat mata perilaku itu kelihatannya baik. Namun, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah. Perbuatan itu, diibaratkan seperti fatamorgana di gurun pasir.

c. Hubungan syariah dan akhlak

Sebagai bentuk perwujudan iman (Aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syariah, agar bernilai sebagai amal shalih. Syariah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seseorang mukmin/muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Melalui prantara syariah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal shalih. Dan akhlaq menjadi sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan syariah. Jadi, syariah adalah syarat yang akan menentukan bernilai tidaknya suatu amal ibadah.

Syariat menjadi standard ukuran yang menentukan apakah suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum pada syariat pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Syariah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).

Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariat. Syariat menjadi bingkai dan praktik akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang.

Dengan demikian, syariah berfungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan seseorang menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan.

Sedangkan dalam Islam antara syariah dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (yakni syariat) menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).

Bisa terjadi suatu pelaksana kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti kasus orang yang ber infak di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infak orang tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaknya yang buruk. Meskipun dari segi aturan syariat ia telah melakukan kewajibannya dengan benar, tetapi secara nilai, ia diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.

Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syariat yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan menggugurkan nilai ibadah seseorang disisi Allah. Dalam kasus orang shalat tidak tepat waktu , tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi keutamaannya saja, atau mengurangi kekusyuan orang yang dibelakang shofnya karena terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi itu tidak menggugurkan kewajiban shalatnya.

Ketetapan syariah adalah ketetapan hukum yang bersifat mutlak dan harus wajib ditaati, sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang akan menyempurnakan dan memperkuat pelaksanaan dan penegakan syari’at tersebut. Jika dalam pelaksanaan syariat mesti sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat itu sendiri, maka akhlak tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Meskipun bersifat keutamaan dan penyempurnaan dalam melaksanakan syariat, ini tidak berarti setiap ummat dapat melakukan atau tidak melakukannya. Karena seperti telah diterangkan diatas, bahawa akhlaq adalah perwujudan dari proses amal ibadah, sehingga seseorang ummat dapat meningkatkan kualitas iman dan amal ibadahnya dengan akhlaq tersebut.

Selain itu antara syariat dan akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar atau mereka yang tidak menjalaninya. Sanksi bagi pelanggar syariat adalah sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan yang tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh lembaga yang berwenang.

Sedangkan bagi yang tidak melakukan akhlak hasanah, tida ada sanksi yang ditetapkan oleh syariat… sanksi terhadap pelanggaran akhlak tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau oleh lingkungan sosial dan masyarakatnya. Misalnya seorang yang menjalankan perintah puasa (saum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan keji, ia tetap tidak bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan mengurangi (ganjaran) keutamaan dalam puasanya, disamping itu akan mendapat sanksi oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, gunjingan dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain. [8]





D. Akhlak baik sebagai azaz kebahagiaan



Dalam Islam telah di jelaskan bahwa orang yang paling baik adalah manusia yang paling banyak mendatangkan kebaikan kepada orang lain, menurut hadist yang diriwayatkan oleh qadla’le dari jabir, Rasullullah saw bersabda:

خير الناس انفعهم لناس

Artinya:“sebaik-baik manusia ialah orang yang banyak manfaatnya (kebaikannya) kepada orang lain”



Pada hakekatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain adalah untuk dirinya sendiri. Mengapa orang lain senang senang berbuat baik kepada kita, karena kita yang lebih dulu berbuat baik kepada orang tersebut.

Firman Allah SWT QS. Al-Isra ayat 7

÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'y™r& $ygn=sù 4 #sŒÎ*sù uä!%y` ߉ôãur ÍotÅzFy$# (#qä«ÿ½Ý¡uŠÏ9 öNà6ydqã_ãr (#qè=äzô‰u‹Ï9ur y‰Éfó¡yJø9$# $yJŸ2 çnqè=yzyŠ tA¨rr& ;o§tB (#rçŽÉi9tFãŠÏ9ur $tB (#öqn=tã #·ŽÎ6÷Ks? ÇÐÈ

Artinya:

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. [9] (QS. Al-Isra : 7)


Ketinggian budi pekerti seseorang menjadikan dirinya dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna, maka itu akan membuat seseorang itu hidup bahagia. Sebaliknya apabila manusia mempunyai tabiat yang buruk, yang suka berburuk sangka kepada orang lain, maka hal itu menjadi pertanda bahwa hidup orang itu selalu resah, karena tidak adanya keserasian dan keharmonisan dalam pergaulannya.

Pelajaran akhlak bertujuan mengetahui perbedaan perangai manusia yang baik dan buruk, agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan dalam masyarakat, di mana tidak ada sifat benci-membenci.

Untuk menciptakan atau mencapai kebahagiaan individu dan sosial, usaha itu berawal dari diri pribadi seseorang, bagaimana sikap atau tingkah laku dari individu itu sendiri, apabila sikap seseorang itu baik, dan bertingkah laku mulia dan bagaimana individu melakukan kewajiban terhadapnya dirinya, individu mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri (al-mas-uliyah asy syaikhshiyah) dan kewajiban terhadap masyarakat (al-mas-uliyah al-ijtima’iyah): di mana kewajiban terhadap diri sendiri itu diantaranya: memelihara diri dengan baik, agar diri kita mampu untuk berbuat baik, melengkapi segala kebutuhan diri pribadi, dan kewajiban terhadap masyarakat diantaranya menciptakan kebaikan dan keselamatan bagi masyarakat dan bertanggung jawab atas perbuatan yang di lakukan di tengah masyarakat.

Namun, kadang orang lalai dalam melihat dirinya, hingga tidak jarang dia tergelincir ke lembah hinaan yang sangat merugikan dirinya dan orang lain, Allah SWT, telah menjelaskan dalam al-Qur'an, bahwa manusia semuanya berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan saling nasehat-menasehati kepada kebenaran, dan nasehat-menasehati dalam kesabaran.

Jika 4 hal tersebut tertahan para setiap pribadi, hingga menjadi sifat dan tabiat dalam masyarakat dan bangsa, insya Allah bangsa, itu akan hidup terang, damai dan sejahtera.

Akhlak buruk merupakan musuh Islam yang utama, karena misi utama Islam adalah membimbing manusia berakhlak buruk akan diberikan sanksi oleh Allah.





Firman Allah surat Ar-Ruum ayat 41

tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. “ω÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉ‹ã‹Ï9 uÙ÷èt/ “Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [10] (QS. Ar-Ruum : 41)



Akhlak buruk tidak hanya berakibat kepada dirinya sendiri, tetapi juga akan merusak citra dalam masyarakat dan kedamaian, contoh sederhana“berdusta” sifat ini akan membawa kerusakan kepada dirinya dan masyarakat sebagai mana sabda Rasullulah SAW.Yang artinya:“Sungguh dusta membawa kepada keburukan dan keburukan itu membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan berdusta, akan di catat di sisi Allah sebagai tukang dusta” (HR. Bukhari Muslim).

Pertama sekali yang sangat di perhatikan Islam adalah perjalanan hidup yang disertai hawa nafsu, sebab kalau seseorang memperturutkan hawa nafsunya. Maka ia tidak dapat menghindarkan diri dari tabiatnya, dia akan cendrung kepada keburukan yang dapat menyesatkan dirinya.

Apabila hawa nafsu telah merajalela dan mengganas, hal itu akan dapat menjerumuskan seseorang kepada tempat yang hina, maka kesengsaraan yang akan menimpa dirinya.

Alqur'an telah menjelaskan bahwa manusia itu di ciptakan sebagai makhluk yang lemah, penuh bimbang dan suka mementingkan diri sendiri,







Firman Allah QS. Al-Ma’arij ayat (19-29)

* ¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd ÇÊÒÈ #sŒÎ) çm¡¡tB •ޤ³9$# $Yãrâ“y_ ÇËÉÈ #sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB ÇËÊÈ žwÎ) tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇËËÈ tûïÏ%©!$# öNèd 4’n?tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqßJͬ!#yŠ ÇËÌÈ šúïÉ‹©9$#ur þ’Îû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ tûïÏ%©!$#ur tbqè%Ïd‰|ÁムÏQöqu‹Î/ ÈûïÏd‰9$# ÇËÏÈ tûïÏ%©!$#ur Nèd ô`ÏiB É>#x‹tã NÍkÍh5u‘ tbqà)Ïÿô±•B ÇËÐÈ ¨bÎ) z>#x‹tã öNÍkÍh5u‘ çŽöxî 5bqãBù'tB ÇËÑÈ tûïÏ%©!$#ur ö/ãf öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇËÒÈ

Artinya: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.

20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,

21. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,

22. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,

23. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,

24. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,

25. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),

26. Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,

27. Dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.

28. Karena Sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).

29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, [11] (QS. al-Ma’arij : 19 – 29)

Apabila watak buruk itu berjalan terus tanpa ada perubahan, maka suatu saat akan membentuk perilaku yang lengkuk yang sulit untuk di obati.

Manusia adalah makhluk sosial (hubungan timbal-balik), yang tidak dapat terlepas dari kehidupan sesama manusia lainnya, setiap yang dilakukan individu akan berpengaruh pada masyarakat sekitarnya, begitu juga sebaliknya, apapun yang terjadi dalam masyarakat akan berpengaruh pada individu. Misalnya: seorang pembeli akan membutuhkan penjual untuk membeli perlengkapan-perlengkapan sehari-harinya, begitu juga seorang penjual sangat membutuhkan pembeli agar dagangannya laku.

Dalam pergaulan antar sesama manusia akan terjadi interaksi sosial dan merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial. Sejak lahir manusia sudah membutuhkan bantuan dari manusia lainnya, misalnya, seorang bayi membutuhkan perawatan dari orang tuannya, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup baginya.

Dan Allah tidak mengkaruniai manusia dengan alat fisik-fisik yang cukup untuk dirinya, melainkan ia menggali sendiri potensi dirinya untuk bertahan, dan itu tidak terlepas dari bantuan manusia lainnya.

Karena manusia saling membutuhkan sesamanya, Islam mengajarkan bahwa perasaan dalam diri di jadikan sebagai tolak ukur dalam mengukur perasaan orang lain. Bila dalam diri seseorang telah meresap secara mendalam suatu perasaan yang dapat merasakan apa-apa di rasakan oleh orang lain, maka itu akan melahirkan suatu keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat. [12]

E. Kesimpulan

Kaitan antara aqidah, syariat dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar, batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi kehancuran untuk pohon tersebut.

Aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah, syariat dan akhlak yang baik akan menjadi percuma, atau pun sebaliknya. Rasulullah pernah menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang kepadanya sebagai seorang manusia.

Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariat dan akhlak akan kehilangan keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara ketiganya dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.






[1] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : DEPAG RI, 1995), h. 83


[2] Ibid., h. 122


[3] Ibid., h. 106


[4] Ibid., h. 38


[5] Ibid., h. 604


[6] Ibid., h. 564


[7] Ali Hamzah, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 29-107


[8] Nasrul H.S, Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skills Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Padang: UNP Press, 2010), h. 124-271


[9] Departemen Agama RI.,Op.cit, h. 282


[10] Ibid, h. 408


[11] Ibid, h. 569


[12] Arpakost.2009.Akhlak Sebagai Asas Kebahagiaan Individu dan Sosial. https://arpakost.blogspot.co.id. Akses 15 Februari 2018 pukul 13.00

0 comments :

About us

Common

Category

FAQ's

Category

FAQ's

© 2011-2014 Guru Sekolah Dasar. Designed by Bloggertheme9. Powered By Blogger | Published By Blogger Templates .