MAZHAB/ALIRAN
FILSAFAT MORAL BARAT
(HEDONISME, PRAGMATISME,
UTILITARINISME)
A.
Hedonisme
1.
Pengertian
Dan Konsep Hedonisme
Secara
bahasa, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hedone” yang artinya
kesenangan. Hedonisme adalah jenis ideologi atau pandangan hidup yang
menyatakan bahwa kebahagian hanya didapatkan dengan mencari kesenangan pribadi
sebanyak-banyaknya dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Hedonisme
mengajarkan bahwa kenikmatan atau kesenangan merupakan tujuan hidup dan acuan
dalam berperilaku dalam sebuah anggota masyarakat. Dalam paham hedonisme,
kesenangan pribadi atau kelompoknya merupakan yang utama, mereka tidak peduli
dengan perasaan atau kesenangan orang lain. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa hedonisme merupakan pandangan hidup yang berdasarkan atas hawa nafsu. Penganut
paham hedonisme disebut hedonis. Hedonisme sangat berhubungan dengan kekayaan,
kenikmatan batin, kenikmatan seksual, kekuasaan dan kebebasan.
2.
Sejarah
Hedonisme
Hedonisme
mulai muncul pada masa awal sejarah ilmu filsafat pada tahun 433 SM (sebelum masehi).
Tokoh utama yang menjadi pencetus hedonisme adalah Aristippos dari Kyrene (433
– 355 SM) yang menjawab sebuah pertanyaan filsafat terkenal. Pertanyaan itu
ditanyakan oleh Sokrates, “Apa yang menjadi tujuan hidup manusia?”. Aristippos
menjawab bahwa yang terbaik adalah “kesenangan”.
Aristippos
ini adalah seorang filsuf Yunani yang berasal dari Kyrene, Afrika Utara.
Aristippus memiliki hubungan baik dengan Sokrates. Setelah Sokrates wafat,
Aristippos menjadi guru profesional di Athena. Kemudian di Kyrene (kampung
halamannya) ia mendirikan sekolah yang dinamakan “Cyrenaic School”. Sekolah ini
mengajarkan bahwa perasaan-perasaan kesenangan sebagai kebenaran dalam
kehidupan. Menurutnya, kehidupan orang bijak selalu mencari jaminan kesenangan
maksimal. Aristippos sebenarnya setuju dengan pendapat Sokrates bahwa keutamaan
dalam hidup adalah “yang baik”, tetapi ia menyamakan arti “yang baik” ini
dengan kesenangan, mungkin ia hanya berpikir bahwa “yang baik” tersebut adalah
yang baik untuk diri sendiri. Aristippos memandang kesenangan dalam bentuk
gerakan (kesenangan badani), menurutnya ada tiga jenis gerakan, yaitu :
a. Gerakan
Kasar, gerakan yang menyebabkan ketidaksenangan dan menimbulkan rasa sakit.
b. Gerakan
halus, gerakan yang membuat kesenangan.
c. Tiada Gerak,
yaitu keadaan netral, contohnya ketika sedang tidur.
Tokoh utama lainnya dari Hedonisme
adalah Epikuros. Ia lahir di Samos, Yunani, pada tahun 342 SM dan meninggal di
Athena tahun 270 SM. Ajaran Epikuros menitikberatkan tentang “apa yang baik
adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah
segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan”. Namun demikian, kenikmatan
yang dimaksud disini bukanlah kenikmatan bebas tanpa aturan, melainkan
kenikmatan yang mendalam. Kenikmatan cenderung didapatkan karena keinginan kita
terpenuhi, dengan ini, kaum epikurean membagi keinginan menjadi 3 jenis, yaitu
:
a. Keinginan
alami yang harus dipenuhi (makan agar terus hidup).
b. Keinginan
alami yang dapat dipenuhi atau tidak (makanan yang enak)
c. Keinginan
alami yang sia-sia (harta yang berlebihan)
Epikuros mengajarkan bahwa penting
untuk membatasi pemuasan keinginan agar dapat mencapai kenikmatan tertinggi,
oleh karena itu ia menyarankan untuk hidup sederhana. Tujuannya adalah demi
mencapai “Ataraxia”, yaitu kententraman jiwa, batin, terbebas dari perasaan
resah gelisah, dan berada dalam keadaan seimbang. Kebahagian yang dituju oleh
kaum epikurean ini adalah kebahagian pribadi, walaupun demikian mereka sadar
bahwa berteman dan bergaul dapat membantu mencapai kenikmatan sejati
(Ataraxia). Nah sayangnya, dalam perkembangannya, paham ini menjadi paham yang
memandang kesenangan, kenikmatan dan kebahagian hanya sebatas materi, baik
berupa uang atau harta lainnya.
Sedangkan
perkembangan Hedonisme di Eropa mulai muncul di Eropa bagian barat selama Abad
pertengahan. Pada abad ke 18, eropa dikuasai oleh tiga golongan besar, yaitu
Golongan Raja dan bangsawan, Pihak Gereja, dan rakyat biasa (kaum feodal). Nah
diantara ketiga golongan ini, pihak gereja memiliki kekuasaan tertinggi, mereka
mempunyai hak khusus untuk mengatur kehidupan ekonomi dan politik yang
berjalan, bahkan mereka dapat membatasi kebebasan setiap individu dalam segala
aspek kehidupan. Golongan Raja dan Bangsawan juga merupakan golongan yang
mempunyai hak istimewa, sedangkan golongan rakyat biasa dianggap golongan tanpa
hak. Hal ini membuat rakyat mendapatkan perlakuan kejam tidak
berprikemanusiaan. Oleh karena itu mulai terjadi perlawanan dari pihak rakyat.
Perlawanan ini kemudian memancing terjadinya Revolusi sehingga terjadi banyak
perubahan dalam segala aspek kehidupan. Ideologi besar baru muncul di berbagai
bidang, yaitu Hedonisme di bidang sosial-budaya, Liberalisme di bidang
politik, Free-Value di bidang Sains, dan Kapitalisme di bidang Ekonomi.
3.
Ciri-ciri Hedonisme
a. Kenikmatan
pribadi merupakan tujuan utama dalam kehidupan.
b. Mengabaikan
perasan atau kebahagiaan orang lain dalam memenuhi keinginan.
c. Materialis,
tidak pernah merasa puas dengan yang dimiliki, selalu mencari harta yang lebih
dan kekayaan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan.
d. Konsumtif,
mengutamakan keinginan dalam membeli sesuatu, bukan mengutamakan kebutuhan.
e. Pergaulan
bebas.
f. Diskriminatif,
membedakan indivitu berdasarkan kekayaan dan menganggap dirinya lebih tinggi
dari orang lain sehingga cenderung sombong.
4.
Kelebihan dan kekurangan hedoisme
a. Kelebihan
Hedonisme
1) Motivasi
yang kuat dalam mencapai keinginannya.
2)
Pantang menyerah dan bersikeras.
3)
Menghargai waktu dan kesempatan, karena setiap waktu
dan kesempatan digunakan untuk mewujudkan yang mereka inginkan.
b. Kekurangan
Hedonisme
1) Menghalalkan
segala cara untuk mencapai keinginannya sehingga cenderung menggunakan cara
yang negatif (tidak baik).
2) Egois dan
tidak memiliki kepekaan sosial.
3) Mengganggu
orang lain karena dalam mencapai keinginanya mereka tidak peduli dengan orang
di sekitarnya.
B.
Pragmatisme
1.
Pengertian
Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata
Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan
(practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti
aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran
yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Aliran ini bersedia
menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman
pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar
tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian,
patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme
memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu
teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu
hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang
menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata,
Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang
praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme
yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya
menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali
tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna
bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat
yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan
kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian,
ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu:
1)
menolak segala
intelektualisme.
2)
Absolutisme.
3)
meremehkan
logika formal.
2.
Tokoh-tokoh Filsafat
Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William
James dan John Dewey.
a.
William James (1842-1910 M)
William
James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah
orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh
dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab
berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya
antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897),
The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam
bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita
berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu
senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran
mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu
apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah
oleh poengalaman berikutnya.
Nilai
pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup
serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam
bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar
kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah
kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara
mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang
lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James
membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya
dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata
lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang
adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat
mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral
umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat
subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk
mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
b.
John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun
Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang
pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia
serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai
pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Dewey
lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman
adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu
filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis.
Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.
Instrumentalisme
ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut
Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita
namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita
untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme,
berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini
dianut oleh William James.
c.
Charles Sandre
Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan
berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia
juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan
metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu
manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua pernyataan itu
tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu
yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari
kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat
dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu
praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
3. Implementasi Aliran Filsafat Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik
saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh
karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman
hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman
belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar
sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh
dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan
pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan
dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.
a.
Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu
murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.
b.
Eksperimentalisme
Kita menguji
kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikian maka
tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak.
Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa
menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup
bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus
diuji.
Dewey
menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran
yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan
yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan
karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan
pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat
diterapkan dengan baik.
d.
Moral
Penolakan
dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan
sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada
masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi
pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku
universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends-in-view maka pembenaran
terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak
ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
Model
pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam
masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban
dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai
fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat
anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana
yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat
pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup lima hal pokok.
Kelima hal pokok tersebut, yaitu:
1)
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme
adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan
pribadi.
2)
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan
pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa
dan kompleks untuk tumbuh.
3)
Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis
berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan
kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru
menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
4)
Metode, metode yang digunakan dalam
pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar
sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method),
serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method).
Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat
pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka,
antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan
bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh
siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
5)
Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan
pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa
mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal
di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena
pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu
masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan
keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami
evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
C.
Utilitarianisme
1.
Pengertian dan konsep Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata latin yaitu
“Utilis”, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah atau
menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori
kebahagiaan terbesar (the greatest happiness
theory). Utilitarianisme adalah kebahagiaan yang sangat besar.
Utilitarianisme atau utilisme adalah aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan ini
diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Bergantung kepaea apakah
hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia tentang suatu
kebaikan. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya
hukum yang dapat membahagiakan sebagian terbesar masyarakat (the greatest
happiness for the greatest number of people). Pandangan ini
bersumber dari filsafat yunani yaitu Hedonisme, bahwa sesuatu yang enak itulah
yang diinginkan seseorang.
“Setiap
orang ingin hidup dengan selamat damai dan bahagia, seorangpun tiada yang ingin
hidup dengan susah payah atau terhina dan sebagainya. Dalam hati
kita merasakan berbagai macam keinginan, tetapi anehnya kita tak pernah merasa
puas sepenuhnya. Karena jika keinginan yang satu kita puaskan,
sebentar akan timbul keinginan lain lagi, maka hilanglah rasa kepuasan
itu. Keadaan yang kita sebut “kebahagiaan” artinya keadaan dimana
semua keinginan – keinginan kita terpenuhi, yang membawa ketenangan dan
ketentraman hati yang sepenuhnya itu Nampak sukar dicapai.” (Sala, 2000: 105).
Akan tetapi setiap orang sibuk mencarinya, jadi
timbullah pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah yang
memberikan kebahagiaan itu ?
2. Dimanakah
letaknya kebahagiaan itu ?
3. Apakah yang
membawa kebahagiaan itu ?
4. Bagaimana dapat
dicapai kebahagiaan itu ?
Teranglah bahwa hanya kesenangan belum
kebahagiaan. Itu memang benar buat hewan, tetapi tidak benar bagi
manusia, karena manusia hanya dapat bahagia “sebagai manusia”, (dalam arti
manusiawi). Artinya sebagai makhluk yang berbudi, berjiwa,
berpenalaran, beriman. Jadi haruslah disertai dengan pengetahuan
dengan kesadaran.
Aliran utilitarianisme dapat digolongkan kedalam positivism
hukum. Mengingat faham ini sampai kepada kesimpulan bahwa tujuan
hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan
manfaat yang sebesar – besarnya kepada jumlah orang yang
terbanyak. Ini berarti hukum merupakan cerminan perintah penguasa
juga, bukan cerminan dari rasio semata.
Seperti kita tahu, kedudukan manusia didunia ini
sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam, maka kita harus memeliharanya
dengan baik dan dilarang untuk merusaknya.
2.
Tokoh – tokoh
utilitarianisme
“Dari pandangan aliran ini ialah bahwa tujuan hidup ini seharusnya
happiness untuk semua orang, yaitu orang lain dan diri sendiri, jadi
kebahagiaan yang bersifat universal disini dapat diartikan orang banyak, atau
kepentingan kemanusiaan pada umumnya, bangsa atau golongan orang.” .(Kertopati,
1968: 288).
Secara idealistis ialah bahwa “kebahagiaan bagi umum”
apakah ini bersifat Spiritual, Jasmaniah atau kedua – duanya adalah ditempatkan
diatas kesenangan pribadi.
Kita mengenal tokoh – tokohnya antara lain :
a. Jeremy
Bentham
b. John Stuart
Mill
Sebagaimana kepada aliran lainnya kepada
utilitarianisme ini telah pula dilancarkan kritik antara lain :
a. Eaduemonisme
universalistis memulai satu individu jadi penilaiannya adalah secara matematis
1 = 1. Hypothesis memang mudah untuk dikatakan, akan tetapi penerapannya dalam
praktek adalah sulit.
b. Jadi masing
– masing orang didalam masyarakat harus memperhitungkan kesenangan, setiap
orang bermacam – macam, kalau ingin hendak adil, padahal baik happiness yang
bersifat spiritual maupun jasmaniyah adalah sukar sekali untuk ditukar
kualitasnya.
c. Katakanlah
hanya terdapat dua golongan manusia yaitu satu golongan mengejar kebahagiaan
rohaniyah (spiritual) belaka, dan golongan yang lainnya mengejar kesenangan
jasmaniyah. Sekarang problemnya bagaimanakah cara untuk dapat memenuhi
kedua golongan tersebut dalam waktu yang sama.
3. Pokok Pikiran Utilitarianisme
Utilitarianisme
menyatakan bahwa “kebahagiaan itu adalah yang diinginkan dan satu-satunya
tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan
itu.” Jelas mirip dengan gagasan hedonism, dan hedonism seperti kita tahu
adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah
kebaikan tertinggi dalam kehidupan. Istilah hedonisme sendiri
berasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, epicurus,
tokoh utama Hedonisme dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya
orang bijak harus menghindari kesenangan – kesenangan yang pada akhirnya akan
berujung pada penderitaan.
Para
penggugat utilitarianisme mengajukan sejumlah keberatan antara lain, asas
kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan – aturan moral yang sudah mapan,
seperti jangan bohong, jangan mencuri dan jangan membunuh.
Marilah
kita pertimbangkan kalimat “Pembunuhan merupakan keburukan” dan “Pembunuhan
seharusnya tidak dikerjakan”. Seorang positivis akan mengatakan,
meskipun kalimat yang pertama bersifat empiris, namun yang kedua tidak demikian
halnya, karena kalimat tersebut sekedar mengulang apa yang sudah terkandung
dalam kalimat yang pertama. Secara definisi kita mengetahui, kata
“keburukan” merupakan sesuatu yang seharusnya tidak
dikerjakan. Karena itu kalimat kedua secara analistis dapat
disimpulkan dari kalimat yang pertama. Kita mengetahui pula
keburukan mengandung pengertian sesuatu yang seharusnya tidak dikerjakan,
karena memang begitulah cara orang memakai pengertian tersebut.
Jika
seseorang mengacu sesuatu yang ia katakan buruk dan sekaligus mengatakan bahwa
hal tersebut dikerjakan, maka sebagai pribadi anda tentu akan mengatakan : hal
yang dikatakan itu sesungguhnya bukan merupakan keburukan, atau hal tersebut
adalah dalam keadaan yang sangat khusus dan bukan merupakan keburukan dalam
arti kata yang sebenarnya. Tetapi mungkin anda akan mengatakan “jika
hal tersebut benar – benar buruk, maka seharusnya tidak dikerjakan”.
Ini berarti sama dengan mengatakan bahwa keburukan dan seharusnya tidak
dikerjakan berhubungan secara analistis sehingga tidaklah mungkin menolak yang
satu sambil menerima yang lain.
KESIMPULAN
Secara
bahasa, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hedone” yang artinya
kesenangan. Hedonisme adalah jenis ideologi atau pandangan hidup yang
menyatakan bahwa kebahagian hanya didapatkan dengan mencari kesenangan pribadi
sebanyak-banyaknya dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu
aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai
benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat
pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
Utilitarianisme
sebagai teori sistematis pertama kali yang dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan
muridnya John Stuart Mill. Utilitarianisme merupakan faham etis yang
berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak
bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah dan
menguntungkan atau tidak.
Utilitarianisme
adalah aliran yang meletakkan kemampuan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan
ini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Aliran ini
sesungguhnya dapat digolongkan kedalam positivisme hukum, mengingat faham ini
sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban
masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
jumlah orang terbanyak, ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah
penguasa juga, bukan cerminan dari rasio semata.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996)
Burhanuddin Salam, “Pengantar Filsafat”, Jakarta, Bumi Aksara, 2000,
Cetakan IV
KATTSOFF. LOVIS O. “Pengantar Filsafat”. Yogyakarta; Tiara
Wacana, Yogya, 2004, cetakan IX.
Kertopati, Ton, Dasar – Dasar Publisistik (Unesco Division Of Development)
Mass Media, 1968
Zuhairini, dkk. “Filsafat Pendidikan Islam” Jakarta, Bumi Aksara, 2004.
Damsar.2012. Pengantar
Sosiologi Pendidikan.Jakarta : Kencana Media Prenada Group
http://filsafatpendidikanpragmatisme.blogspot.co.id/ ( diakses pada tanggal 12
Maret 2018 pukul 21.00 WIB )
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-pendidikan/ ( diakses pada tanggal 12
Maret 2018 pukul 22.00 WIB)
0 comments :